Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak Air Mata Mengering dan 49 Tahun

7 Desember 2021   06:36 Diperbarui: 7 Desember 2021   06:40 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SAJAK AIR MATA MENGERING

Hari ini kau bercerita ingin menulis air mata yang mengering; yang terus mencari di manakah orang-orang terkasih itu berada; orang-orang yang disenyapkan dari cinta dan kekasih, dari anak dan saudara, dari para tetangga dan sahabat; orang-orang yang disenyapkan dalam lubang-lubang tanah yang mereka galih sendiri dalam kuburan yang menggantikan pengadilan.

Air mata itu mengering, tapi tak pernah menghentikan tembang; tentang kerinduan di ujung malam; tentang cinta selalu berlabuh bersama angin; tentang doa disuarakan dalam manjing. 

Kerinduan ini menjadi luka tak lagi terasa sakit karena sakit telah menguap bersama kalimat-kalimat suci berkumandang bersama anyir darah menggenang.

Cinta ini menjadi keteguhan yang harus dijaga sepanjang hayat karena ia membisikkan setitik harapan; tentang perjumpaan dalam mimpi; tentang percumbuan dalam batin.

Air mata itu masih terus mencari petilasan-petilasan tanpa nama. Cinta itu selalu saja mengirimkan kembang dan tembang, meskipun hanya bisa diam bersama hening dalam sebuah kamar. 

Hari ini kita bercakap.

"Di luar, orang-orang menyanyikan tembang itu sebagai perpisahan menyakitkan antara dua anak manusia yang saling mencintai. Hanya tentang itu, Mas," kataku. "Begitulah, kisahku memang tak pernah sama dengan kisah mereka," katamu sembari meneteskan air mata.

*untuk Yon's D.D.
Pencipta lagu Banyuwangi Tetese Eluh

Banyuwangi, 22 Juli 2009

Senja di hutan jati Lamongan selatan. Foto: Dok. Pribadi
Senja di hutan jati Lamongan selatan. Foto: Dok. Pribadi
49 TAHUN

Kami kirim lagi tangis dari senyap hutan jati. Bukan sedih menuntut dendam. Bukan nelangsa membuka luka. Sudah habis segala dendam. Sudah habis segala luka.

Takbir dikhianati anyir darah atas nama Tuhan nan suci. Titah dihayati dalam umpatan kalian pengkhianat dan pembunuh.

Empat puluh sembilan tahun bukanlah waktu yang lama untuk mengirim tangis. Ini pepuji pada Sang Gusti karena tangan kami, mata kami, senyum kami, bibir kami tak mampu lagi mengutarakan rindu: tak mampu lagi menuntun tubuhmu.

Empat puluh sembilan tahun kami membayangkan ada nyawa masih terjaga. Sebuah gubuk kecil nan damai di tengah hutan jati kau melantunkan kudangan untuk keenam cucumu yang tidak pernah kau kenal:  cucu-cucu yang selalu mengirimkan tangis bersama kedua anakmu.

Ya empat puluh sembilan tahun dan kami masih membayangkan kau masih ada. Jangan menangis bapak. Jangan menangis kakek. Biarkanlah tangis itu milik kami karena hanya itulah yang membuat kami merasa ada. 

Lamongan, dini hari, 1 oktober 2014

Keterangan istilah:

Manjing (Jawa): kondisi sangat khusyuk dalam berdoa yang diyakini melancarkan komunikasi spiritual dengan Tuhan Yang Mahaesa

Kudangan (Jawa): aktivitas menyanyikan lagu untuk balita atau anak kecil dengan tujuan menghibur atau menentramkannya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun