wajahnya peta waktu, sungai kenangan,
bibirnya bergetar, namun matanya bercahaya,
seolah berkata: "Aku telah menari dengan hidup."
Pelukan mama adalah lautan tenang,
dekapannya harum masakan dapur kayu,
jari-jarinya kasar, namun lembut bagai sutra,
menggenggam erat luka-luka yang kusebut rumah.
Di sana, aku tak lagi anak yang tersesat,
melainkan burung yang pulang ke sarang,
terbang rendah, menyanyi tentang cinta,
cinta yang tak pernah usai meski waktu berlari.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!