entah apa yang dipikirkan tuhan ketika melemparku dari kenihilan ke neraka tak bernama ini.
rasanya ia memang (hanya) berjudi melawan iblis, tak pernah benar-benar peduli pada diriku yang tak berhenti hancur.
: dibiarkan olehnya rasa sakit merayapi bagian-bagian tubuhku sampai paling renik, dibiarkan pula luka-luka yang nganga menyeretku pada perasaan ingin mati.
sialnya, meski kepalaku yang musafir dari tubuhku tuntas menafsir bunuh diri sebagai alegori pereda nyeri, dan mataku jelas menangkap kematianku berdiri menunggu di depan gerbang neraka lain, aku selalu saja ciut nyali menyetubuhi mati--kocar-kacir mencari sembunyi, seperti hantu tak berkepala disabung misteri sepenggal ayat kitab suci.
sementara waktu--rongga api tak berpintu itu, membara-mengunyah-menelan diriku yang kemarin, sekarang dan mendatang, membutku kian remuk, seperti runtuhan babel lapuk rela merubuhkan dirinya sendiri di dalam diriku.
ingatan kian arang, apa-apa tinggal belulang. sesuatu tak dikenal, seperti kain hitam, seolah membungkus abu kenangan, membukus noktah-noktah keyakinan, membungkus sebab-sebab segala kejadian, melarung ketiganya ke redut telaga keraguan.
aku meragukan keberadaanku, ingatan, tuhan, dunia setelah kematian, dan apa pun yang bernama kecuali kesakitanku satu-satunya yang tak fana, itu tak bisa kuragukan.
itu kian menyakitkan.
oh tuhan yang telah kuragukan, apakah kau bisa nyatakan keberadaan, keberadaanku, keberadaanmu itu?
sebab ada hal yang ingin kutanyakan (kusampaikan) padamu secara langsung.
"mengapa kau membuangku dari kenihilan, lalu membiarkanku di dalam diriku dikawini sakit tanpa dsrah, nanah dan memar yang pelan-pelan membuatku hancur?
aku ingin sekali kembali pada muasalku, pada muasal segala sesuatu"
kalau memang kau tak fana, tak layak diragukan, datanglah di pangku malam, jawab tanyaku tanpa kurang, tanpa abu-abu.
dan apabila kau datang, entah dengan berkepala kambing, berwajah babi, bertelinga rusa dan bertubuh manusia, atau dalam wujud aneh lainnya, aku tak kan menghina.
percayalah.
tak usah takut, tak usah malu.
atau kalau kau sepiring nasi, aku pasti makan tiga kali sehari, dan apabila pil tidur yang kusimpan di lemari, aku pasti rutin menelanmu seperti anjuran seorang psikiatri yang tak pernah mencela ceritaku, tapi dengan tiga gelas wiski.
dalam keraguan,
aku ingin berhenti meragukan, berhenti dari kesakitan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI