Data yang sama bisa diputarbalikkan: penerimaan ratusan triliun rupiah bisa dianggap menyelamatkan fiskal, tetapi juga bisa diceritakan sebagai "pembenaran negara untuk meracuni rakyat."Â
Di sinilah kekuatan framing Bloomberg cs menjadi sangat berbahaya, karena bisa menggerakkan persepsi publik global dan domestik sekaligus.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar "berapa persen cukai naik," melainkan "siapa yang menguasai narasi." Apakah Indonesia bisa menegakkan argumen rasional soal kedaulatan fiskal, atau justru harus tunduk pada narasi kesehatan yang dikendalikan oleh kapitalisme filantropi?Â
Di titik inilah langkah Purbaya diuji: mampukah ia mengimbangi kekuatan narasi global dengan diplomasi fiskal yang tajam?
Ujian Kedaulatan Fiskal
Akhirnya, atas pertanyaan apakah Bloomberg akan tinggal diam terhadap kebijakan Purbaya, jawabannya hampir pasti tidak.Â
Dengan investasi besar yang telah ditanamkan dalam kampanye anti-tembakau, mereka punya kepentingan menjaga agar narasi itu tetap dominan.Â
Serangan mungkin tidak frontal, tetapi melalui media, riset, simbol publik seperti karangan bunga, hingga tekanan pasar.Â
Semua itu bisa diarahkan untuk membentuk opini bahwa Purbaya berbahaya bagi kesehatan publik dan stabilitas fiskal.
Namun, bagi Indonesia, inilah momentum penting. Jika Purbaya mampu menavigasi tekanan ini dengan bijak, ia bisa membuktikan bahwa kebijakan fiskal Indonesia tidak bisa begitu saja dikendalikan oleh kapitalisme filantropi global.Â
Sebaliknya, jika gagal, Indonesia bisa semakin terjerat dalam ketergantungan narasi yang dikendalikan oleh kepentingan luar negeri.