Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Apakah Bloomberg Akan Tinggal Diam terhadap Kebijakan Purbaya?

3 Oktober 2025   15:59 Diperbarui: 9 Oktober 2025   09:44 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dana besar itu dialirkan ke berbagai lembaga swadaya masyarakat, riset kesehatan, hingga kampanye advokasi publik. Itu artinya, Purbaya bukan hanya berhadapan dengan politik domestik, tetapi juga dengan jejaring filantropi global yang kuat.

Suburnya wacana kesehatan publik yang dikaitkan dengan rokok tidak bisa dilepaskan dari konstruksi framing yang dibiayai oleh aliran dana global tersebut. 

Persoalannya bukan sekadar rokok berbahaya atau tidak, tetapi bagaimana risiko itu dibingkai, dimanipulasi, dan dijadikan alasan untuk menekan kebijakan fiskal suatu negara. 

Dalam konteks ini, langkah Purbaya terlihat seperti upaya membongkar hipokrisi fiskal: negara selama ini menikmati pendapatan besar, tetapi terpojok oleh narasi moral yang diorkestrasi dari luar.

Sejak awal, inilah dilema besar yang akan membayangi Purbaya. Ia ingin menjaga stabilitas fiskal, namun di saat bersamaan akan menghadapi tekanan kuat dari pihak yang ingin menjadikan kebijakan cukai rokok sebagai alat moralistik-politis, bukan sekadar instrumen fiskal. 

Dengan kata lain, sejak duduk di kursi Menteri Keuangan, Purbaya sebenarnya sudah menapakkan kaki di gelanggang pertarungan ideologis yang lebih luas daripada sekadar kebijakan teknis.

Hipokrisi Fiskal dan Langkah Purbaya

Salah satu hipokrisi yang selama ini melingkupi kebijakan fiskal adalah soal cukai rokok. Selama rezim keuangan sebelumnya, negara terus menggenjot penerimaan dari cukai, namun secara bersamaan membangun narasi publik bahwa seolah pemerintah begitu peduli pada kesehatan. 

Padahal, kenyataannya, APBN sangat bergantung pada penerimaan cukai tembakau. Ini menimbulkan paradoks: tanpa cukai rokok, banyak program negara bisa terganggu, tetapi tanpa wacana kesehatan, kebijakan menaikkan cukai sulit dibenarkan secara moral.

Data BPJS Kesehatan, misalnya, sering dipakai untuk membenarkan kenaikan cukai dengan dalih beban pembiayaan penyakit terkait rokok. Namun, validitas data ini patut dipertanyakan. 

Banyak penelitian independen menemukan bahwa klaim kerugian ekonomi akibat rokok kerap bias. Semua kasus penyakit jantung, paru-paru, dan kanker langsung dikaitkan dengan konsumsi rokok, padahal faktor penyebab jauh lebih kompleks. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun