Tanda-tanda tekanan sudah terlihat. Pada awal September 2025, Bloomberg menerbitkan artikel berjudul "Indonesia Assets Feel Jitters as Analysts Flag Fiscal Concerns."Â
Artikel ini menekankan bahwa pasar meragukan disiplin fiskal Indonesia setelah pergantian Menkeu dari Sri Mulyani ke Purbaya.Â
Walau dikemas sebagai analisis pasar, isinya menyiratkan pesan kuat: jika Purbaya tidak melanjutkan kebijakan "fiskal ketat" ala pendahulunya, risiko capital flight akan meningkat.Â
Dengan kata lain, media global sudah mulai menyiapkan opini bahwa arah kebijakan Purbaya bisa membahayakan ekonomi.
Selain itu, Bloomberg juga menyoroti isu cukai alternatif nikotin. Pada Desember 2023, ketika Sri Mulyani masih menjabat sebagai Menteri Keuangan, media ini memuat laporan "Indonesia to Impose New 10% Tax on E-Cigarettes From 2024."
Artikel tersebut menggambarkan pajak e-cigarettes sebagai langkah positif untuk mengendalikan konsumsi nikotin. Narasinya jelas: setiap regulasi yang menaikkan beban fiskal bagi produk tembakau atau turunannya dianggap sebagai "kemajuan kesehatan publik."Â
Maka, jika Purbaya sebagai pengganti Sri Mulyani menahan kenaikan cukai atau terlihat ragu mengadopsi kebijakan serupa, ia bisa dengan mudah diposisikan sebagai "anti-health policy" di mata dunia.
Yang menarik, di tingkat lokal, narasi simbolis juga sudah mulai dimainkan. Kasus terbaru adalah berjejalnya karangan bunga protes di depan kantor Kemenkeu, sebuah aksi simbolis yang menyinggung langsung keputusan Purbaya tidak menaikkan cukai.Â
Sederet karangan bunga itu diliput luas media nasional, menjadi sinyal visual bahwa kebijakan fiskal Purbaya dianggap problematis oleh publik.Â
Lebih jauh, simbol semacam ini sangat mudah dipanen oleh jejaring global untuk membangun kesan bahwa seolah-olah Purbaya kehilangan legitimasi moral, baik di dalam maupun luar negeri.
Ini menunjukkan bahwa pertarungan bukan lagi soal angka fiskal semata, melainkan soal bagaimana kebijakan dikisahkan.Â