Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Apakah Bloomberg Akan Tinggal Diam terhadap Kebijakan Purbaya?

3 Oktober 2025   15:59 Diperbarui: 9 Oktober 2025   09:44 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan bunga protes di Kementerian Keuangan, setelah Purbaya tidak menaikkan cukai rokok. (Kompas.com/IYCTC)

Cukai rokok bukan sekadar angka, tapi perang nyata: kebijakan fiskal pro-rakyat vs kepentingan kapitalisme filantropi di balik gerakan anti-tembakau.

Purbaya di Tengah Panggung Global

Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa memantik diskusi hangat, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di pusat-pusat keuangan dunia. Sebagai figur dengan reputasi teknokrat, Purbaya menghadapi ekspektasi besar sekaligus keraguan tajam. 

Salah satu isu paling menonjol yang langsung menempatkannya dalam sorotan adalah soal kebijakan fiskal terkait cukai rokok. 

Sepintas isu ini tampak hanya bersifat domestik, tetapi sesungguhnya membuka benturan kepentingan antara paradigma fiskal nasional dan kapitalisme filantropi global.

Cukai hasil tembakau selama ini merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar di luar pajak penghasilan dan PPN. Pada 2023, penerimaan cukai rokok mencapai lebih dari Rp 200 triliun, sekitar 10% dari total APBN. 

Angka itu jauh melampaui penerimaan dari cukai lain, bahkan menjadi penopang bagi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang dialokasikan untuk daerah. 

Dengan posisi strategis semacam itu, kebijakan Purbaya untuk tidak menaikkan cukai rokok, yang notabene berbeda dengan pola sebelumnya, bisa dibaca sebagai langkah strategis yang tidak sederhana.

Keputusan ini jelas bersinggungan dengan kepentingan global yang sejak lama mendorong agenda pengendalian tembakau. 

Bloomberg Philanthropies, misalnya, telah menyalurkan lebih dari USD 1 miliar di seluruh dunia untuk kampanye anti-tembakau, dengan Indonesia sebagai salah satu target utama. 

Dana besar itu dialirkan ke berbagai lembaga swadaya masyarakat, riset kesehatan, hingga kampanye advokasi publik. Itu artinya, Purbaya bukan hanya berhadapan dengan politik domestik, tetapi juga dengan jejaring filantropi global yang kuat.

Suburnya wacana kesehatan publik yang dikaitkan dengan rokok tidak bisa dilepaskan dari konstruksi framing yang dibiayai oleh aliran dana global tersebut. 

Persoalannya bukan sekadar rokok berbahaya atau tidak, tetapi bagaimana risiko itu dibingkai, dimanipulasi, dan dijadikan alasan untuk menekan kebijakan fiskal suatu negara. 

Dalam konteks ini, langkah Purbaya terlihat seperti upaya membongkar hipokrisi fiskal: negara selama ini menikmati pendapatan besar, tetapi terpojok oleh narasi moral yang diorkestrasi dari luar.

Sejak awal, inilah dilema besar yang akan membayangi Purbaya. Ia ingin menjaga stabilitas fiskal, namun di saat bersamaan akan menghadapi tekanan kuat dari pihak yang ingin menjadikan kebijakan cukai rokok sebagai alat moralistik-politis, bukan sekadar instrumen fiskal. 

Dengan kata lain, sejak duduk di kursi Menteri Keuangan, Purbaya sebenarnya sudah menapakkan kaki di gelanggang pertarungan ideologis yang lebih luas daripada sekadar kebijakan teknis.

Hipokrisi Fiskal dan Langkah Purbaya

Salah satu hipokrisi yang selama ini melingkupi kebijakan fiskal adalah soal cukai rokok. Selama rezim keuangan sebelumnya, negara terus menggenjot penerimaan dari cukai, namun secara bersamaan membangun narasi publik bahwa seolah pemerintah begitu peduli pada kesehatan. 

Padahal, kenyataannya, APBN sangat bergantung pada penerimaan cukai tembakau. Ini menimbulkan paradoks: tanpa cukai rokok, banyak program negara bisa terganggu, tetapi tanpa wacana kesehatan, kebijakan menaikkan cukai sulit dibenarkan secara moral.

Data BPJS Kesehatan, misalnya, sering dipakai untuk membenarkan kenaikan cukai dengan dalih beban pembiayaan penyakit terkait rokok. Namun, validitas data ini patut dipertanyakan. 

Banyak penelitian independen menemukan bahwa klaim kerugian ekonomi akibat rokok kerap bias. Semua kasus penyakit jantung, paru-paru, dan kanker langsung dikaitkan dengan konsumsi rokok, padahal faktor penyebab jauh lebih kompleks. 

Inilah titik yang sering dipakai Bloomberg dan jejaringnya untuk membangun narasi bahwa biaya kesehatan akibat rokok jauh melebihi penerimaan cukai.

Kebijakan Purbaya untuk tidak menaikkan cukai rokok terlihat membongkar kontradiksi ini. Jika kebijakan fiskal hanya menjadi "sandiwara moral," negara akan terus terjebak dalam lingkaran hipokrisi. 

Yang lebih berbahaya lagi, ruang fiskal negara bisa dikendalikan oleh framing eksternal yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan nasional.

Dari sisi politik, sikap Purbaya ini berisiko. Kebijakan yang diambilnya benar-benar sebuah uji nyali: sampai sejauh mana Indonesia bisa menentukan arah fiskalnya sendiri tanpa dikendalikan oleh tekanan narasi moralistik yang dibangun oleh kekuatan global.

Jika Purbaya berhasil menegakkan narasi kedaulatan fiskal ini, Indonesia bisa menjadi contoh negara yang tidak mudah tunduk pada tekanan kekuatan global, termasuk kapitalisme filantropi. 

Tapi, jika gagal, Purbaya bisa-bisa dipaksa mundur oleh kombinasi tekanan pasar, politik, dan opini publik. 

Dengan kata lain, isu cukai rokok bukan sekadar soal pajak: ini adalah ajang pembuktian integritas kebijakan fiskal di hadapan kekuatan global.

Data Fiskal: Rokok dan APBN

Untuk melihat betapa strategisnya isu cukai rokok ini, mari kita tengok data konkret. Pada 2023, penerimaan cukai hasil tembakau mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Setara dengan sekitar 10% dari total penerimaan negara. 

Itu jelas bukan jumlah yang kecil, mengingat penerimaan dari minyak dan gas bumi di tahun yang sama hanya sekitar Rp 149 triliun. 

Artinya, dalam struktur APBN, cukai rokok adalah penopang vital, bahkan lebih besar dari beberapa sektor strategis lain.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) juga menjadi penyangga penting bagi daerah-daerah penghasil tembakau. Pada 2023, alokasi DBHCHT mencapai lebih dari Rp 3,2 triliun. 

Dana ini digunakan untuk mendukung program kesehatan, peningkatan kualitas bahan baku, hingga bantuan langsung bagi pekerja. 

Dengan demikian, ada jutaan orang, mulai dari petani, buruh pabrik, hingga pedagang kecil, yang kehidupannya bergantung langsung pada keberlangsungan industri tembakau.

Jika narasi global berhasil memaksa Indonesia mengurangi ketergantungan pada cukai rokok, maka konsekuensinya tidak sederhana. APBN akan kehilangan salah satu penopang utama, sementara daerah-daerah penghasil tembakau akan kehilangan sumber pendanaan signifikan. 

Inilah titik di mana kebijakan fiskal tidak bisa dilepaskan dari politik ekonomi kerakyatan. Artinya, menutup mata terhadap kontribusi riil cukai sama saja dengan menafikan kenyataan sosial-ekonomi yang menopang jutaan rakyat.

Tapi, narasi yang dibangun Bloomberg dan jejaringnya justru berusaha menutup mata dari angka-angka ini. Mereka menekankan biaya kesehatan yang "tak ternilai," sambil mengabaikan fakta bahwa tanpa penerimaan cukai, negara justru akan kehilangan kemampuan membiayai program kesehatan itu sendiri. 

Di sinilah terlihat bagaimana framing bisa menutupi realitas: seolah-olah dengan menghapus rokok, masalah selesai. Padahal, yang terjadi bisa sebaliknya: negara kehilangan sumber pendanaan, sementara penyakit tidak otomatis hilang.

Purbaya tampaknya memahami betul paradoks ini. Ia tahu bahwa kebijakan fiskal harus realistis: tidak mungkin begitu saja menyingkirkan kontribusi ratusan triliun rupiah demi mengikuti narasi kesehatan yang sarat kepentingan. 

Dengan langkahnya menahan kenaikan cukai, ia mencoba mengembalikan orientasi kebijakan fiskal ke realitas ekonomi nasional, bukan sekadar tunduk pada framing global.

Bloomberg di Indonesia: Uang dan Agenda

Untuk memahami betapa kuatnya kepentingan Bloomberg di Indonesia, kita perlu melihat angka. Bloomberg Philanthropies sejak 2007 telah menggelontorkan lebih dari USD 1 miliar secara global untuk kampanye anti-tembakau. 

Dari jumlah itu, puluhan juta dolar diarahkan ke Indonesia melalui berbagai jalur, termasuk hibah ke lembaga riset, organisasi advokasi, hingga program kampanye publik. Lembaga seperti Vital Strategies, Campaign for Tobacco-Free Kids, hingga The Union aktif mengoperasikan agenda ini di tanah air.

Dana itu tidak sekadar berhenti di meja birokrat atau peneliti, tetapi dipakai untuk membangun narasi sistematis. Mulai dari riset yang menunjukkan beban ekonomi akibat rokok, kampanye kesehatan publik, hingga advokasi untuk regulasi yang lebih ketat. 

Tak jarang, hasil penelitian yang dibiayai donor ini kemudian dipakai sebagai dasar dalam menyusun kebijakan pemerintah, menciptakan lingkaran kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh agenda global.

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini sangat strategis. Dengan populasi perokok terbesar ketiga di dunia, Indonesia adalah pasar penting yang harus ditekan oleh gerakan anti-rokok global. 

Bloomberg dan jaringannya sadar bahwa jika Indonesia berhasil dijadikan model sukses, negara lain di Asia Tenggara akan lebih mudah mengikuti. Inilah sebabnya mengapa Indonesia menjadi salah satu target prioritas mereka.

Namun, sikap Purbaya berpotensi mengguncang narasi itu. Dengan tidak serta-merta mengikuti pola kenaikan cukai tahunan, ia seakan menegaskan bahwa kebijakan fiskal Indonesia tidak bisa begitu saja ditentukan oleh agenda donor. 

Langkah ini jelas mengusik kepentingan besar yang sudah bertahun-tahun membangun ekosistem advokasi di Indonesia. Bloomberg mungkin tidak akan menyerang langsung, tetapi framing media internasional dan tekanan riset adalah senjata yang bisa terus mereka mainkan.

Tarikan Kepentingan: Petani, Buruh, dan Pasar Tembakau 

Di balik angka-angka besar tadi, ada jutaan rakyat kecil yang hidup dari industri tembakau. Data Kementan mencatat sekitar 500 ribu rumah tangga petani tembakau tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga NTB. 

Sementara itu, pabrik rokok besar mempekerjakan ratusan ribu buruh, mayoritas perempuan. Di sektor distribusi dan perdagangan eceran, jutaan pedagang kecil bergantung pada rokok sebagai komoditas dengan perputaran cepat. 

Semua ini menunjukkan bahwa industri tembakau bukan sekadar soal cukai, tetapi soal mata pencaharian.

Bloomberg dan jaringannya sering mengabaikan dimensi ini. Dalam framing mereka, rokok semata-mata diposisikan sebagai sumber penyakit dan beban ekonomi. Padahal, di baliknya ada jutaan orang yang akan terdampak jika industri ini ditekan habis-habisan. 

Narasi "biaya kesehatan lebih besar dari manfaat ekonomi" sesungguhnya menyembunyikan kenyataan sosial-ekonomi yang kompleks. 

Bahkan, muncul paradoks baru: mereka yang didorong berhenti merokok bisa kehilangan pekerjaan, sementara penyakit akibat gaya hidup lain (misalnya obesitas, diabetes) tetap akan membebani sistem kesehatan.

Lebih jauh, ada pula dimensi persaingan pasar tembakau. Perusahaan global tengah mendorong transisi ke produk alternatif seperti e-cigarettes atau heated tobacco. 

Ironisnya, beberapa donor filantropi yang keras menentang rokok konvensional justru lebih lunak terhadap produk alternatif yang juga dimiliki korporasi multinasional. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah gerakan anti-rokok benar-benar murni soal kesehatan, ataukah ada agenda pasar di baliknya?

Purbaya, dengan kebijakan fiskalnya, secara tidak langsung menunda transisi paksa ini. Dengan menahan kenaikan cukai, ia melindungi stabilitas ekonomi kerakyatan sembari memberi waktu bagi negara untuk mengukur ulang arah kebijakan. 

Tentu saja, langkah ini bisa dianggap "menghambat agenda global," dan di situlah titik potensi konflik semakin nyata.

Arena Narasi: Kesehatan vs Kedaulatan Fiskal

Pertarungan sebenarnya mungkin tidak terjadi di ruang rapat kabinet, tetapi di arena narasi. Media internasional, lembaga riset, hingga opini publik akan menjadi medan pertempuran utama. 

Bloomberg, dengan jaringan globalnya, punya keunggulan besar dalam membangun framing. Sementara Purbaya dan pemerintah Indonesia harus mencari cara agar narasi kedaulatan fiskal tetap bisa didengar.

Tanda-tanda tekanan sudah terlihat. Pada awal September 2025, Bloomberg menerbitkan artikel berjudul "Indonesia Assets Feel Jitters as Analysts Flag Fiscal Concerns." 

Artikel ini menekankan bahwa pasar meragukan disiplin fiskal Indonesia setelah pergantian Menkeu dari Sri Mulyani ke Purbaya. 

Walau dikemas sebagai analisis pasar, isinya menyiratkan pesan kuat: jika Purbaya tidak melanjutkan kebijakan "fiskal ketat" ala pendahulunya, risiko capital flight akan meningkat. 

Dengan kata lain, media global sudah mulai menyiapkan opini bahwa arah kebijakan Purbaya bisa membahayakan ekonomi.

Selain itu, Bloomberg juga menyoroti isu cukai alternatif nikotin. Pada Desember 2023, ketika Sri Mulyani masih menjabat sebagai Menteri Keuangan, media ini memuat laporan "Indonesia to Impose New 10% Tax on E-Cigarettes From 2024."

Artikel tersebut menggambarkan pajak e-cigarettes sebagai langkah positif untuk mengendalikan konsumsi nikotin. Narasinya jelas: setiap regulasi yang menaikkan beban fiskal bagi produk tembakau atau turunannya dianggap sebagai "kemajuan kesehatan publik." 

Maka, jika Purbaya sebagai pengganti Sri Mulyani menahan kenaikan cukai atau terlihat ragu mengadopsi kebijakan serupa, ia bisa dengan mudah diposisikan sebagai "anti-health policy" di mata dunia.

Yang menarik, di tingkat lokal, narasi simbolis juga sudah mulai dimainkan. Kasus terbaru adalah berjejalnya karangan bunga protes di depan kantor Kemenkeu, sebuah aksi simbolis yang menyinggung langsung keputusan Purbaya tidak menaikkan cukai. 

Sederet karangan bunga itu diliput luas media nasional, menjadi sinyal visual bahwa kebijakan fiskal Purbaya dianggap problematis oleh publik. 

Lebih jauh, simbol semacam ini sangat mudah dipanen oleh jejaring global untuk membangun kesan bahwa seolah-olah Purbaya kehilangan legitimasi moral, baik di dalam maupun luar negeri.

Ini menunjukkan bahwa pertarungan bukan lagi soal angka fiskal semata, melainkan soal bagaimana kebijakan dikisahkan. 

Data yang sama bisa diputarbalikkan: penerimaan ratusan triliun rupiah bisa dianggap menyelamatkan fiskal, tetapi juga bisa diceritakan sebagai "pembenaran negara untuk meracuni rakyat." 

Di sinilah kekuatan framing Bloomberg cs menjadi sangat berbahaya, karena bisa menggerakkan persepsi publik global dan domestik sekaligus.

Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar "berapa persen cukai naik," melainkan "siapa yang menguasai narasi." Apakah Indonesia bisa menegakkan argumen rasional soal kedaulatan fiskal, atau justru harus tunduk pada narasi kesehatan yang dikendalikan oleh kapitalisme filantropi? 

Di titik inilah langkah Purbaya diuji: mampukah ia mengimbangi kekuatan narasi global dengan diplomasi fiskal yang tajam?

Ujian Kedaulatan Fiskal

Akhirnya, atas pertanyaan apakah Bloomberg akan tinggal diam terhadap kebijakan Purbaya, jawabannya hampir pasti tidak. 

Dengan investasi besar yang telah ditanamkan dalam kampanye anti-tembakau, mereka punya kepentingan menjaga agar narasi itu tetap dominan. 

Serangan mungkin tidak frontal, tetapi melalui media, riset, simbol publik seperti karangan bunga, hingga tekanan pasar. 

Semua itu bisa diarahkan untuk membentuk opini bahwa Purbaya berbahaya bagi kesehatan publik dan stabilitas fiskal.

Namun, bagi Indonesia, inilah momentum penting. Jika Purbaya mampu menavigasi tekanan ini dengan bijak, ia bisa membuktikan bahwa kebijakan fiskal Indonesia tidak bisa begitu saja dikendalikan oleh kapitalisme filantropi global. 

Sebaliknya, jika gagal, Indonesia bisa semakin terjerat dalam ketergantungan narasi yang dikendalikan oleh kepentingan luar negeri.

Dengan demikian, isu cukai rokok telah berubah menjadi panggung besar yang mempertarungkan dua paradigma: kebijakan fiskal nasional yang berakar pada realitas ekonomi rakyat, dan kapitalisme filantropi global yang beroperasi melalui framing kesehatan. 

Pertarungan ini tidak akan selesai dalam semalam, tapi keputusan Purbaya hari ini akan menentukan arah Indonesia dalam jangka panjang: tunduk pada tekanan narasi, atau berdiri tegak dengan kedaulatan fiskal.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun