Bloomberg dan jaringannya sering mengabaikan dimensi ini. Dalam framing mereka, rokok semata-mata diposisikan sebagai sumber penyakit dan beban ekonomi. Padahal, di baliknya ada jutaan orang yang akan terdampak jika industri ini ditekan habis-habisan.Â
Narasi "biaya kesehatan lebih besar dari manfaat ekonomi" sesungguhnya menyembunyikan kenyataan sosial-ekonomi yang kompleks.Â
Bahkan, muncul paradoks baru: mereka yang didorong berhenti merokok bisa kehilangan pekerjaan, sementara penyakit akibat gaya hidup lain (misalnya obesitas, diabetes) tetap akan membebani sistem kesehatan.
Lebih jauh, ada pula dimensi persaingan pasar tembakau. Perusahaan global tengah mendorong transisi ke produk alternatif seperti e-cigarettes atau heated tobacco.Â
Ironisnya, beberapa donor filantropi yang keras menentang rokok konvensional justru lebih lunak terhadap produk alternatif yang juga dimiliki korporasi multinasional.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah gerakan anti-rokok benar-benar murni soal kesehatan, ataukah ada agenda pasar di baliknya?
Purbaya, dengan kebijakan fiskalnya, secara tidak langsung menunda transisi paksa ini. Dengan menahan kenaikan cukai, ia melindungi stabilitas ekonomi kerakyatan sembari memberi waktu bagi negara untuk mengukur ulang arah kebijakan.Â
Tentu saja, langkah ini bisa dianggap "menghambat agenda global," dan di situlah titik potensi konflik semakin nyata.
Arena Narasi: Kesehatan vs Kedaulatan Fiskal
Pertarungan sebenarnya mungkin tidak terjadi di ruang rapat kabinet, tetapi di arena narasi. Media internasional, lembaga riset, hingga opini publik akan menjadi medan pertempuran utama.Â
Bloomberg, dengan jaringan globalnya, punya keunggulan besar dalam membangun framing. Sementara Purbaya dan pemerintah Indonesia harus mencari cara agar narasi kedaulatan fiskal tetap bisa didengar.