Reformasi tata kelola MBG butuh waktu panjang, dan risiko keracunan tak bisa ditekan hingga nol.Â
Jeda sangat penting bagi pemerintah untuk menemukan hingga mengeksekusi sistem atau format baru yang benar-benar aman.
Niat Baik yang Tergelincir Risiko
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat baik: memastikan anak-anak sekolah, balita, dan kelompok rentan memperoleh gizi layak setiap hari. Presiden Prabowo menempatkan MBG sebagai salah satu janji politik utamanya.
Pada level wacana, ini merupakan gebrakan besar yang memberi harapan, sekaligus simbol bahwa negara hadir dalam kebutuhan paling dasar rakyatnya: makanan bergizi.
Namun, pelaksanaan di lapangan jauh dari mulus. Sejak awal, implementasi MBG diwarnai dengan skala ambisius. Pemerintah menargetkan puluhan juta penerima dalam waktu singkat.
Infrastruktur logistik, rantai pasok, serta dapur massal didorong bekerja secepat mungkin. Kecepatan yang dimaksudkan untuk menunjukkan keseriusan politik ini justru membuka celah besar dalam keamanan dan pengawasan.Â
Hasilnya, serangkaian insiden keracunan terjadi, dengan ribuan korban dalam kurun waktu singkat.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah program yang dimaksudkan untuk melindungi justru berbalik membahayakan?
Jika iya, maka pertimbangan etis harus lebih diutamakan dibanding sekadar capaian kuantitatif.Â
Apalagi, kegagalan di ranah kesehatan tidak bisa dipulihkan hanya dengan angka, melainkan berhadapan langsung dengan penderitaan manusia.
Dalam kondisi ini, pilihan pemerintah tidak lagi sekadar antara melanjutkan atau memperbaiki. Yang mendesak adalah keputusan berani untuk melakukan moratorium total MBG, demi menyelamatkan nyawa rakyat dan sekaligus menjaga legitimasi politik Presiden Prabowo sendiri.
Reformasi Tata Kelola: Jalan yang Tak Bisa Instan
Mereka yang menolak moratorium sering berargumen bahwa masalah MBG dapat diselesaikan dengan reformasi tata kelola: memperbaiki dapur, melatih tenaga, menambah pengawasan, dan memperketat standar.Â
Argumen itu benar hingga batas tertentu, tetapi melupakan kenyataan bahwa reformasi tata kelola membutuhkan waktu panjang.
Membangun sistem keamanan pangan berskala nasional bukan perkara hitungan minggu. Diperlukan audit menyeluruh terhadap ribuan dapur, sertifikasi ketat, investasi rantai dingin, serta mekanisme monitoring digital real-time.
Selain itu, tenaga manusia yang terlibat harus melalui pelatihan ulang intensif. Semua itu tidak bisa dirampungkan tanpa mengorbankan waktu yang cukup panjang: berbulan-bulan, bahkan mungkin lebih dari setahun.
Masalahnya, selama rentang waktu reformasi berlangsung, distribusi makanan tetap berjalan. Artinya, risiko keracunan tetap mengintai. Insiden baru bisa terjadi kapan saja, dan tiap kasus akan menjadi sorotan publik.
Dengan kata lain, memperbaiki sistem sambil tetap menjalankan program sama saja dengan membiarkan rakyat hidup dalam ancaman terus-menerus.
Di sinilah moratorium menemukan urgensinya. Dengan menghentikan sementara MBG, pemerintah memiliki ruang tenang untuk membangun sistem atau format baru tanpa menambah daftar korban.Â
Ini bukan sekadar langkah teknis, melainkan wujud tanggung jawab negara terhadap nyawa rakyatnya.
Risiko Keracunan Tak Pernah Bisa Nol
Perlu ditegaskan bahwa bahkan setelah reformasi tata kelola dilakukan, risiko keracunan tidak akan pernah bisa nol.Â
Program makan massal selalu menyimpan potensi bahaya: kontaminasi bahan baku, kesalahan pengolahan, distribusi di cuaca panas, hingga human error dari tenaga dapur. Negara-negara maju dengan sistem pengawasan ketat pun tetap menghadapi risiko dan kasus keracunan.
Dengan cakupan MBG yang masif dan kondisi geografis Indonesia yang penuh tantangan, mustahil menghilangkan risiko sepenuhnya. Paling jauh, risiko hanya bisa ditekan.
Namun, dalam konteks politik dan sosial Indonesia, satu kasus keracunan saja sudah cukup untuk memojokkan pemerintah, apalagi jika kasus itu menimpa anak sekolah. Ini adalah kelompok yang secara emosional mudah memantik simpati publik.
Karena itu, pemerintah tak bisa lagi berlindung pada logika statistik. Benar bahwa secara persentase, ribuan korban keracunan mungkin kecil dibanding puluhan juta penerima. Tapi, dalam ranah etis dan politik, logika ini tidak berlaku.
Seperti dibuktikan oleh beredarnya klaim palsu bahwa Presiden Prabowo pernah menyebut kasus keracunan "hanya 0,00017 persen" yang sudah dibantah oleh cek fakta JPNN, publik akan langsung marah bila merasa nyawa rakyat direduksi jadi angka kecil.
Oleh sebab itu, langkah moratorium bukan hanya teknis, tetapi juga simbolik: pesan bahwa pemerintah tidak mau menggadaikan satu nyawa pun demi sekadar angka capaian.
Energi Politik Tersita Terlalu Banyak
Setiap kasus keracunan yang muncul menggerus energi politik pemerintah.Â
Alih-alih fokus pada agenda pembangunan jangka panjang, pejabat pusat dan daerah harus berulang kali mengurus krisis darurat: mengunjungi korban, menghadapi media, menjawab kritik, dan menenangkan masyarakat.Â
Situasi ini menciptakan siklus "pemadaman kebakaran" yang melelahkan.
Akibatnya, MBG yang semula dimaksudkan sebagai program unggulan justru berubah menjadi sumber kerentanan.Â
Bukannya menjadi modal legitimasi, MBG bisa menjadi batu sandungan yang terus mengganggu kredibilitas pemerintah.Â
Bahkan, program lain yang tidak terkait langsung dengan MBG pun bisa ikut terhambat, karena opini publik sudah terbentuk: pemerintah lalai melindungi nyawa rakyat.
Lebih buruk lagi, dalam iklim politik yang penuh dengan polarisasi, setiap insiden bisa dieksploitasi untuk melemahkan posisi presiden.Â
Lawan politik akan mudah menyerang dengan argumen sederhana: "Presiden lebih memilih angka daripada nyawa."Â Ini adalah narasi yang sulit dilawan, apa pun angka statistik yang ditampilkan pemerintah.
Dengan demikian, mempertahankan MBG dalam kondisi rawan justru menyedot energi politik yang seharusnya bisa dipakai untuk agenda pembangunan lain yang tak kalah penting.Â
Moratorium akan memberi jeda: energi bisa dialihkan ke reformasi sistemik, bukan sekadar respons darurat berulang-ulang.
Moratorium sebagai Keberanian Etis dan Strategis
Moratorium MBG bukanlah pengakuan kegagalan, melainkan pernyataan keberanian.Â
Keberanian untuk menempatkan nyawa di atas politik, keberanian untuk menghentikan program yang belum aman, dan keberanian untuk menata ulang sebelum terlalu terlambat.Â
Langkah ini bisa dikomunikasikan bukan sebagai langkah mundur, tetapi sebagai reset yang beradab.
Dari sisi etis, moratorium adalah bukti bahwa pemerintah tidak ingin rakyatnya menjadi "kelinci percobaan." Dari sisi politik, moratorium justru bisa memperkuat legitimasi jangka panjang.Â
Publik akan melihat presiden sebagai pemimpin yang tidak keras kepala mempertahankan program bermasalah, tetapi terbuka untuk evaluasi demi keselamatan bersama.
Tentu saja, risiko politik tetap ada. Lawan politik bisa saja menyerang dengan narasi "janji kampanye gagal."Â
Namun, melalui komunikasi publik yang tepat, dengan menekankan bahwa moratorium dilakukan demi keselamatan rakyat, kritik semacam itu bisa dipatahkan.
Bahkan, publik mungkin akan menghargai sikap rendah hati dan kesungguhan pemerintah dalam memperbaiki keadaan.
Moratorium juga membuka peluang: dalam masa jeda, pemerintah bisa mengkaji desain ulang MBG, memastikan dapur disertifikasi, melibatkan komunitas lokal untuk pengawasan, dan menyusun standar keamanan pangan yang transparan.Â
Dengan begitu, saat program diluncurkan kembali, MBG sudah benar-benar siap dan aman.
Memilih Nyawa daripada Angka
Pemerintahan Prabowo berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, MBG adalah janji besar yang ingin segera diwujudkan.Â
Di sisi lain, insiden keracunan berulang telah membuktikan bahwa program ini rentan dan berbahaya jika dipaksakan.
Reformasi tata kelola membutuhkan waktu panjang, dan selama waktu itu, risiko tetap ada. Lebih realistisnya lagi, risiko itu tak pernah bisa ditekan hingga nol.
Karena itu, keputusan paling etis dan paling strategis adalah melakukan moratorium total MBG sekarang juga.
Moratorium bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa pemerintah benar-benar menempatkan nyawa rakyat sebagai prioritas.Â
Dalam politik, keberanian untuk berhenti sementara demi keselamatan rakyat justru bisa menjadi sumber legitimasi baru.
Publik akan lebih menghargai pemimpin yang berani berkata: "Lebih baik kita berhenti sejenak, daripada melukai rakyat sendiri."Â
Dengan moratorium, pemerintah punya waktu untuk berpikir matang, menata ulang sistem atau mendesain format baru, dan merancang program MBG yang benar-benar aman dan kredibel.
Pada akhirnya, keberhasilan program ini tidak akan diukur dari berapa juta makanan yang dibagikan, tetapi dari keyakinan rakyat bahwa setiap makanan yang datang dari negara adalah makanan yang aman dan menyehatkan.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI