Literasi Pejabat Bukan Urusan Pribadi
Membaca bukan sekadar keterampilan dasar, melainkan fondasi kepemimpinan modern. Tanpa budaya membaca, pejabat publik kehilangan kemampuan untuk memahami kompleksitas masalah dan mengambil keputusan berbasis pengetahuan yang memadai.
Indonesia menghadapi masalah serius dalam hal literasi, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di antara para pejabatnya.Â
Data internasional dan nasional menunjukkan ketidakseimbangan antara harapan terhadap kepemimpinan yang berbasis pengetahuan dan kenyataan kapasitas literasi di lapangan.
Pejabat publik jelas memiliki akses literasi yang berlimpah, dan seharusnya punya dorongan lebih besar untuk membangun budaya membaca. Mereka mengelola dokumen hukum, data riset, dan laporan kebijakan yang menuntut keterampilan literasi tinggi.
Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya: alih-alih menjadi teladan literasi, banyak pejabat justru memperlihatkan pola malas membaca, cepat bicara, dan cenderung dangkal dalam memahami isu.
Tulisan ini hendak menguraikan kondisi literasi pejabat publik Indonesia melalui tujuh aspek penting: minat baca, daya baca, akses, motivasi, strategi baca, literasi digital, dan sikap terhadap membaca.
Ketujuh aspek tersebut bukan hanya kategori teknis, melainkan cermin dari kualitas kepemimpinan. Dengan membedahnya, kita dapat menilai implikasi nyata bagi mutu kebijakan publik.
Penting untuk dicatat bahwa literasi pejabat bukan sekadar urusan pribadi, melainkan faktor struktural dalam demokrasi.Â
Kebijakan yang lahir dari pejabat dengan kapasitas membaca rendah akan berisiko tinggi mengabaikan data, menyalahi konteks, dan gagal menyentuh akar persoalan. Dengan kata lain, membaca dan memimpin tidak bisa dipisahkan.