Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paradoks Indonesia: Ketika Rakyat dan Pejabat Sama-sama Malas Membaca

27 September 2025   11:34 Diperbarui: 27 September 2025   12:16 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: idn.freepik.com)

Sebuah Pertanyaan yang Menggelisahkan

Apa jadinya ketika rakyat dan pejabat sama-sama malas membaca? Pertanyaan ini seolah ringan, tapi menohok inti dari kehidupan publik kita. 

Membaca bukan sekadar urusan menamatkan buku, melainkan fondasi berpikir, alat untuk mengasah nalar, dan medium untuk memahami dunia yang kompleks. 

Tanpa membaca, rakyat kehilangan daya kritis. Tanpa membaca, pejabat kehilangan pijakan untuk membuat keputusan. Bila keduanya sama-sama malas membaca, demokrasi yang kita bangun berisiko berjalan tanpa arah.

Ironi mencolok hadir di negeri ini. APJII 2023 mencatat bahwa penetrasi internet Indonesia sudah mencapai 78,19 persen dari total populasi. Artinya, lebih dari 215 juta orang terhubung ke dunia maya. 

Sementara itu, pengguna smartphone mendekati 188 juta jiwa. Gawai dan internet menjadi jendela dunia yang selalu terbuka. Tapi, apa gunanya jendela, bila kita memandang cermin yang hanya memantulkan luaran diri sendiri?

Di sisi lain, ada angka yang tampak menggembirakan. Indeks Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) yang dihitung Perpustakaan Nasional naik dari 55,74 pada 2020 menjadi 72,44 pada 2024. Kenaikan ini menunjukkan ada geliat. 

Namun, angka-angka itu tidak serta merta menandai lahirnya tradisi literasi. Membaca mendalam yang melahirkan daya kritis masih jauh dari kebiasaan sehari-hari.

Maka, tulisan ini hendak memasuki bagaimana paradoks itu bekerja. Gadget melimpah, tapi literasi rapuh. Demokrasi berjalan, tapi wacananya dangkal. Kebijakan dibuat, tapi sering tanpa basis pengetahuan yang kokoh. Pertanyaan di awal bukan sekadar retorika, melainkan cermin nasib bangsa.

Minat Membaca: Naik, tapi Belum Berakar

Angka TGM memang memberi secercah harapan. Dari 55,7 menjadi 72,4 dalam empat tahun adalah loncatan yang tidak kecil. 

Tapi, pertanyaan yang harus diajukan: apa arti angka itu dalam kehidupan nyata? Apakah orang-orang sungguh menjadikan membaca sebagai kebutuhan sehari-hari, atau sekadar aktivitas insidental yang tercatat dalam survei?

Lihatlah ketimpangan antarwilayah. Sulawesi Selatan mencatat indeks pembangunan literasi masyarakat tertinggi, 88,24. DIY juga mencatat skor tinggi, 86,39. Namun, banyak provinsi lain masih jauh tertinggal. 

Literasi di Indonesia tidak hanya rendah, tapi juga timpang. Seperti sawah yang satu subur, satu lagi gersang. Akibatnya, generasi di satu daerah tumbuh dengan kekayaan bacaan, sementara di daerah lain hidup di gurun literasi.

Laporan internasional menambah nada muram. UNESCO pernah menempatkan Indonesia di peringkat bawah literasi dunia. 

Satu klaim yang kerap dikutip, meski metodologinya perlu diperdebatkan, menyebut hanya satu dari seribu orang Indonesia yang gemar membaca serius. Klaim itu memberi simbol betapa membaca belum sungguh berakar.

Kita memang bisa melihat oase: generasi muda disebut mulai kembali ke buku, baik cetak maupun digital. Ribuan perpustakaan didatangi, e-book diunduh. 

Namun, apakah itu tanda musim hujan sudah tiba, atau hanya riak kecil di tengah padang luas yang kering? Harapan ada, tapi masih rapuh.

Tanpa fondasi yang kuat, minat membaca yang naik bisa sekadar statistik. Literasi bukan sekadar minat, tapi kebiasaan yang mengubah cara berpikir dan bertindak. Dan, di sinilah masalahnya: akar kebiasaan belum kokoh menancap.

Gadget: Jendela Dunia atau Cermin Kedangkalan?

Mari kita menengok realitas sehari-hari. Di kereta, halte, ruang tunggu bandara, hingga warung kopi, hampir semua orang menunduk menatap layar. 

Data menunjukkan, lebih dari dua pertiga penduduk Indonesia kini pengguna smartphone. Di atas kertas, kondisi ini adalah mimpi: jutaan buku, artikel, jurnal, dan laporan tersedia hanya sejauh sentuhan jari.

Namun, fakta di lapangan lebih getir. Layar itu lebih sering dipakai untuk mengintip gosip, menonton video singkat, atau berdebat dangkal. Media sosial kita adalah pasar malam: penuh cahaya, riuh, ramai, tapi lekas bubar. 

Orang Indonesia bahkan dikenal sebagai salah satu bangsa paling cerewet di dunia maya. Tapi, apa artinya cerewet bila kata-kata lahir tanpa kebiasaan membaca, tanpa dasar pemahaman yang mendalam?

Gadget sebenarnya bisa menjadi perpustakaan portabel. Ratusan buku klasik hingga riset terbaru bisa diakses dalam genggaman. 

Namun, tanpa kebiasaan membaca, gadget hanya memperparah kedangkalan: kita dikelilingi informasi, tapi jarang mengolahnya jadi pengetahuan.

Paradoks inilah yang berbahaya. Kita punya alat, tapi tak punya tradisi. Kita punya akses, tapi tak punya kebiasaan mendalam. 

Gadget menjanjikan jendela dunia, tetapi sering hanya memantulkan wajah kita sendiri: sibuk berbicara, malas mendengarkan dan mencerna.

Maka, masalahnya bukan pada alat, melainkan pada diri kita. Teknologi hanya memperbesar kecenderungan yang sudah ada. Tanpa tradisi membaca, gawai hanyalah penguat dari budaya instan yang dangkal.

Demokrasi yang Dangkal

Demokrasi memerlukan warga yang melek informasi, yang mau membaca dan menimbang. Tanpa itu, demokrasi tinggal ritual lima tahunan di bilik suara. 

Kita memang memilih, tapi pilihan sering didasarkan pada jargon, bukan argumen; pada wajah di baliho, bukan pada visi yang tertulis.

Ketika malas membaca, rakyat mudah digiring. Hoaks dan disinformasi menyebar lebih cepat daripada klarifikasi. 

Opini publik lebih mudah terbakar oleh kata-kata emosional ketimbang analisis data. Akibatnya, demokrasi kehilangan kedalamannya: perdebatan politik tak lebih daripada adu suara paling keras.

Pejabat yang malas membaca memperparah keadaan. Alih-alih berbicara dengan data dan riset, mereka lebih sering mengandalkan intuisi atau popularitas. 

Kebijakan menjadi reaktif, bukan proaktif. Kita melihat regulasi yang tumpang tindih, proyek yang gagal karena tak membaca kajian dampak, atau keputusan publik yang didasarkan pada persepsi sesaat.

Kondisi ini berbahaya. Demokrasi yang dangkal hanya menghasilkan suara riuh tanpa isi. Rakyat cerewet di media sosial, pejabat cerewet di mimbar politik. 

Tapi, keduanya sama-sama miskin pemahaman. Negara akhirnya berjalan di atas keriuhan, bukan pengetahuan.

Membaca, di sini, bukan sekadar aktivitas individual. Kebiasaan membaca adalah syarat bagi demokrasi yang sehat. 

Tanpa rakyat dan pejabat yang membaca, demokrasi kita hanya jadi pesta bising yang cepat usai, meninggalkan sampah retorika, bahkan menyisakan duri kebencian.

Ketika Kebijakan Dibuat tanpa Membaca

Apa jadinya jika seorang dokter enggan membaca hasil laboratorium, lalu memberi obat hanya berdasarkan firasat? Begitulah pejabat yang malas membaca laporan riset, data statistik, atau masukan akademik. Kebijakan pun berubah menjadi eksperimen, dengan rakyat sebagai kelinci percobaan.

Indonesia punya sejarah panjang program gagal yang lahir dari ketidakseriusan membaca. Ada proyek infrastruktur yang mangkrak karena tak membaca studi kelayakan, ada kebijakan pendidikan yang berganti setiap ganti menteri tanpa belajar dari riset terdahulu, ada subsidi yang salah sasaran karena tak menelaah data demografis. 

Semua itu adalah gejala dari pejabat yang membaca sekilas, atau bahkan tidak membaca sama sekali.

Anggaran publik pun terbuang. Tanpa membaca laporan audit atau best practices, kebijakan hanya mengulang kesalahan lama. Kita jadi bangsa yang pandai "trial and error", tapi jarang belajar dari catatan sendiri.

Rakyat yang malas membaca ikut memperparah situasi. Tanpa membaca dokumen publik atau laporan pemerintah, kritik jadi dangkal, hanya berbasis rumor atau emosi. 

Akibatnya, pejabat tidak merasa perlu memberi penjelasan yang serius. Lingkaran setan terbentuk: kebijakan asal-asalan bertemu kritik asal-asalan.

Seharusnya membaca adalah jembatan antara rakyat dan pejabat. Rakyat membaca agar bisa mengawasi, pejabat membaca agar bisa merumuskan. Tanpa jembatan itu, kebijakan publik hanyalah menara kertas yang mudah roboh.

Pendidikan dan Generasi yang Hilang

Generasi muda adalah cermin masa depan. Namun, cermin itu retak bila budaya membaca tidak diwariskan. Bila pejabat tak menunjukkan teladan membaca, bila orang tua lebih sibuk dengan gawai daripada buku, maka anak-anak belajar bahwa membaca bukanlah bagian penting dari hidup.

Padahal, data menunjukkan problem serius. Tes PISA menempatkan kemampuan literasi siswa Indonesia di bawah rata-rata global. Mereka kesulitan memahami teks kompleks, apalagi menghubungkan informasi untuk membuat kesimpulan. Ini bukan sekadar angka di kertas; ini peringatan bahwa daya saing bangsa terancam.

Ketimpangan literasi antar daerah memperparah situasi. Provinsi dengan indeks literasi tinggi mungkin melahirkan generasi yang siap bersaing, sementara daerah lain menghasilkan generasi yang tertinggal. Kesenjangan ini berisiko melahirkan ketidakadilan sosial yang makin dalam.

Lebih jauh, malas membaca berarti kehilangan kesempatan di era global. Riset, teknologi, dan inovasi menuntut literasi tinggi. 

Bagaimana mungkin kita bersaing bila mahasiswa lebih fasih membuat konten singkat ketimbang membaca jurnal ilmiah? Bagaimana mungkin kita memimpin inovasi bila membaca dianggap beban, bukan kebutuhan?

Maka, malas membaca bukan sekadar masalah pribadi. Ini adalah masalah generasi, masalah bangsa. Bila tak diatasi, kita bukan hanya kehilangan literasi, melainkan kehilangan masa depan.

Membaca sebagai Jalan ke Dalam 

Kita hidup dalam zaman paradoks. Buku bisa diakses tak pernah semudah sekarang. Jutaan bacaan ada di genggaman. 

Tapi, kita lebih sering memilih yang pendek, yang instan, yang viral. Kita cerewet di media sosial, tetapi sering gagap bila diminta menyusun argumen yang solid.

Pertanyaannya, apakah rakyat akan terus cerewet tanpa pengetahuan, dan pejabat sibuk bicara tanpa kebiasaan membaca? Bila ya, demokrasi kita akan terus berjalan di atas kebisingan. 

Kebijakan publik akan jadi eksperimen yang berulang. Pendidikan akan melahirkan generasi yang pandai berswafoto, tapi kaku saat membaca laporan ilmiah.

Membaca adalah jalan ke dalam. Ke kedalaman berpikir, ke kesadaran bahwa hidup bersama membutuhkan fondasi pengetahuan. 

Rakyat yang membaca bisa menuntut pejabat dengan cerdas. Pejabat yang membaca bisa memimpin dengan bijak. Bila keduanya membaca, demokrasi mungkin tidak hanya cerewet, tapi juga cerdas.

Maka, kita kembali ke pertanyaan awal. Apa jadinya ketika rakyat dan pejabat sama-sama malas membaca? Jawabannya sederhana sekaligus mengerikan: kita akan hidup di negara yang bising suaranya, tapi kosong hati dan pikirannya.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun