Ketika malas membaca, rakyat mudah digiring. Hoaks dan disinformasi menyebar lebih cepat daripada klarifikasi.Â
Opini publik lebih mudah terbakar oleh kata-kata emosional ketimbang analisis data. Akibatnya, demokrasi kehilangan kedalamannya: perdebatan politik tak lebih daripada adu suara paling keras.
Pejabat yang malas membaca memperparah keadaan. Alih-alih berbicara dengan data dan riset, mereka lebih sering mengandalkan intuisi atau popularitas.Â
Kebijakan menjadi reaktif, bukan proaktif. Kita melihat regulasi yang tumpang tindih, proyek yang gagal karena tak membaca kajian dampak, atau keputusan publik yang didasarkan pada persepsi sesaat.
Kondisi ini berbahaya. Demokrasi yang dangkal hanya menghasilkan suara riuh tanpa isi. Rakyat cerewet di media sosial, pejabat cerewet di mimbar politik.Â
Tapi, keduanya sama-sama miskin pemahaman. Negara akhirnya berjalan di atas keriuhan, bukan pengetahuan.
Membaca, di sini, bukan sekadar aktivitas individual. Kebiasaan membaca adalah syarat bagi demokrasi yang sehat.Â
Tanpa rakyat dan pejabat yang membaca, demokrasi kita hanya jadi pesta bising yang cepat usai, meninggalkan sampah retorika, bahkan menyisakan duri kebencian.
Ketika Kebijakan Dibuat tanpa Membaca
Apa jadinya jika seorang dokter enggan membaca hasil laboratorium, lalu memberi obat hanya berdasarkan firasat? Begitulah pejabat yang malas membaca laporan riset, data statistik, atau masukan akademik. Kebijakan pun berubah menjadi eksperimen, dengan rakyat sebagai kelinci percobaan.
Indonesia punya sejarah panjang program gagal yang lahir dari ketidakseriusan membaca. Ada proyek infrastruktur yang mangkrak karena tak membaca studi kelayakan, ada kebijakan pendidikan yang berganti setiap ganti menteri tanpa belajar dari riset terdahulu, ada subsidi yang salah sasaran karena tak menelaah data demografis.Â