Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paradoks Indonesia: Ketika Rakyat dan Pejabat Sama-sama Malas Membaca

27 September 2025   11:34 Diperbarui: 27 September 2025   12:16 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: idn.freepik.com)

Angka TGM memang memberi secercah harapan. Dari 55,7 menjadi 72,4 dalam empat tahun adalah loncatan yang tidak kecil. 

Tapi, pertanyaan yang harus diajukan: apa arti angka itu dalam kehidupan nyata? Apakah orang-orang sungguh menjadikan membaca sebagai kebutuhan sehari-hari, atau sekadar aktivitas insidental yang tercatat dalam survei?

Lihatlah ketimpangan antarwilayah. Sulawesi Selatan mencatat indeks pembangunan literasi masyarakat tertinggi, 88,24. DIY juga mencatat skor tinggi, 86,39. Namun, banyak provinsi lain masih jauh tertinggal. 

Literasi di Indonesia tidak hanya rendah, tapi juga timpang. Seperti sawah yang satu subur, satu lagi gersang. Akibatnya, generasi di satu daerah tumbuh dengan kekayaan bacaan, sementara di daerah lain hidup di gurun literasi.

Laporan internasional menambah nada muram. UNESCO pernah menempatkan Indonesia di peringkat bawah literasi dunia. 

Satu klaim yang kerap dikutip, meski metodologinya perlu diperdebatkan, menyebut hanya satu dari seribu orang Indonesia yang gemar membaca serius. Klaim itu memberi simbol betapa membaca belum sungguh berakar.

Kita memang bisa melihat oase: generasi muda disebut mulai kembali ke buku, baik cetak maupun digital. Ribuan perpustakaan didatangi, e-book diunduh. 

Namun, apakah itu tanda musim hujan sudah tiba, atau hanya riak kecil di tengah padang luas yang kering? Harapan ada, tapi masih rapuh.

Tanpa fondasi yang kuat, minat membaca yang naik bisa sekadar statistik. Literasi bukan sekadar minat, tapi kebiasaan yang mengubah cara berpikir dan bertindak. Dan, di sinilah masalahnya: akar kebiasaan belum kokoh menancap.

Gadget: Jendela Dunia atau Cermin Kedangkalan?

Mari kita menengok realitas sehari-hari. Di kereta, halte, ruang tunggu bandara, hingga warung kopi, hampir semua orang menunduk menatap layar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun