Data menunjukkan, lebih dari dua pertiga penduduk Indonesia kini pengguna smartphone. Di atas kertas, kondisi ini adalah mimpi: jutaan buku, artikel, jurnal, dan laporan tersedia hanya sejauh sentuhan jari.
Namun, fakta di lapangan lebih getir. Layar itu lebih sering dipakai untuk mengintip gosip, menonton video singkat, atau berdebat dangkal. Media sosial kita adalah pasar malam: penuh cahaya, riuh, ramai, tapi lekas bubar.Â
Orang Indonesia bahkan dikenal sebagai salah satu bangsa paling cerewet di dunia maya. Tapi, apa artinya cerewet bila kata-kata lahir tanpa kebiasaan membaca, tanpa dasar pemahaman yang mendalam?
Gadget sebenarnya bisa menjadi perpustakaan portabel. Ratusan buku klasik hingga riset terbaru bisa diakses dalam genggaman.Â
Namun, tanpa kebiasaan membaca, gadget hanya memperparah kedangkalan: kita dikelilingi informasi, tapi jarang mengolahnya jadi pengetahuan.
Paradoks inilah yang berbahaya. Kita punya alat, tapi tak punya tradisi. Kita punya akses, tapi tak punya kebiasaan mendalam.Â
Gadget menjanjikan jendela dunia, tetapi sering hanya memantulkan wajah kita sendiri: sibuk berbicara, malas mendengarkan dan mencerna.
Maka, masalahnya bukan pada alat, melainkan pada diri kita. Teknologi hanya memperbesar kecenderungan yang sudah ada. Tanpa tradisi membaca, gawai hanyalah penguat dari budaya instan yang dangkal.
Demokrasi yang Dangkal
Demokrasi memerlukan warga yang melek informasi, yang mau membaca dan menimbang. Tanpa itu, demokrasi tinggal ritual lima tahunan di bilik suara.Â
Kita memang memilih, tapi pilihan sering didasarkan pada jargon, bukan argumen; pada wajah di baliho, bukan pada visi yang tertulis.