Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paradoks Indonesia: Ketika Rakyat dan Pejabat Sama-sama Malas Membaca

27 September 2025   11:34 Diperbarui: 27 September 2025   12:16 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: idn.freepik.com)

Semua itu adalah gejala dari pejabat yang membaca sekilas, atau bahkan tidak membaca sama sekali.

Anggaran publik pun terbuang. Tanpa membaca laporan audit atau best practices, kebijakan hanya mengulang kesalahan lama. Kita jadi bangsa yang pandai "trial and error", tapi jarang belajar dari catatan sendiri.

Rakyat yang malas membaca ikut memperparah situasi. Tanpa membaca dokumen publik atau laporan pemerintah, kritik jadi dangkal, hanya berbasis rumor atau emosi. 

Akibatnya, pejabat tidak merasa perlu memberi penjelasan yang serius. Lingkaran setan terbentuk: kebijakan asal-asalan bertemu kritik asal-asalan.

Seharusnya membaca adalah jembatan antara rakyat dan pejabat. Rakyat membaca agar bisa mengawasi, pejabat membaca agar bisa merumuskan. Tanpa jembatan itu, kebijakan publik hanyalah menara kertas yang mudah roboh.

Pendidikan dan Generasi yang Hilang

Generasi muda adalah cermin masa depan. Namun, cermin itu retak bila budaya membaca tidak diwariskan. Bila pejabat tak menunjukkan teladan membaca, bila orang tua lebih sibuk dengan gawai daripada buku, maka anak-anak belajar bahwa membaca bukanlah bagian penting dari hidup.

Padahal, data menunjukkan problem serius. Tes PISA menempatkan kemampuan literasi siswa Indonesia di bawah rata-rata global. Mereka kesulitan memahami teks kompleks, apalagi menghubungkan informasi untuk membuat kesimpulan. Ini bukan sekadar angka di kertas; ini peringatan bahwa daya saing bangsa terancam.

Ketimpangan literasi antar daerah memperparah situasi. Provinsi dengan indeks literasi tinggi mungkin melahirkan generasi yang siap bersaing, sementara daerah lain menghasilkan generasi yang tertinggal. Kesenjangan ini berisiko melahirkan ketidakadilan sosial yang makin dalam.

Lebih jauh, malas membaca berarti kehilangan kesempatan di era global. Riset, teknologi, dan inovasi menuntut literasi tinggi. 

Bagaimana mungkin kita bersaing bila mahasiswa lebih fasih membuat konten singkat ketimbang membaca jurnal ilmiah? Bagaimana mungkin kita memimpin inovasi bila membaca dianggap beban, bukan kebutuhan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun