Tanggal yang Janggal: Ada yang Tega Berbuat Nista
Mari kita mundur sejenak. Menelisik kembali realitas pada tanggal 25/8/25 yang tak secantik angkanya. Dipilih entah hanya karena memikat atau karena bisa dipakai sebagai pancingan untuk menjerat, yang jelas, ajakan untuk berdemo di depan Gedung DPR pada hari itu sangat janggal. Bahkan, sangat terasa bahaya jebakannya.
Seperti dirilis tempo.co (25/8), siapa pencetus dan penanggung jawab demo 25 Agustus sama sekali tidak jelas. Di jagad media sosial, ajakan itu menyaru di balik nama yang tampak menyeru: "Revolusi Rakyat Indonesia." Dengan mengajak berbagai elemen masyarakat, mulai dari buruh, petani, hingga mahasiswa, mereka melempar koar sembunyi jari di belantara dunia maya.
Kejanggalan ini berkait berkelindan dengan keanehan lain yang muncul sejak sehari sebelumnya (24/8). Banyak akun membanjiri media sosial dengan berbagai video insinuatif yang tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. Video-video itu menampilkan narasi seolah-olah demo 25 Agustus sudah terjadi. Padahal, harinya sendiri belum tiba.
Pun begitu, tayangan-tayangan tersebut adalah video lawas yang diambil entah kapan. Dan, runyamnya, khalayak ramai terpapar oleh unggahan itu hingga jumlah views-nya mencapai angka jutaan dan disusul dengan ribuan komentar. (tempo.co 25/8).
Dalam waktu sesingkat itu, kejanggalan ternyata tak berhenti sampai di situ. Redaksi Rmol.id mengaku menerima undangan aksi 25 Agustus yang awalnya berisi tuntutan pengusutan korupsi keluarga mantan Presiden Jokowi dan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Tapi, anehnya, persis sehari sebelumnya (24/8), tuntutan mereka berbelok ke pembatalan kenaikan tunjangan anggota DPR (Rmol.id 28/8). Sulit dibayangkan bahwa peralihan itu hanya sembarang perubahan tuntutan tanpa plot terencana untuk skenario yang lebih besar.
Kekacauan yang Diproduksi
Jelas bahwa semua kejanggalan tersebut adalah rangkaian upaya sistematis dan terselubung dari apa yang di era digital disebut sebagai manufacturing chaos. Kekacauan buatan ini sengaja dirancang untuk menciptakan persepsi seolah-olah ada gerakan rakyat yang masif pada hari itu, padahal pada kenyataannya tidak demikian. Di dunia maya, citraan digital dikonstruksi sedemikian rupa untuk memanipulasi persepsi publik, sementara di lapangan, aksi yang tampak spontan kemudian justru telah diskenariokan jauh sebelumnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi digital kini telah menjadi instrumen dominan dalam arsitektur kekuasaan. Jika pada masa lalu propaganda dilakukan lewat pamflet, radio, atau televisi, maka kini manufacturing chaos beroperasi melalui algoritma media sosial, jaringan bot, dan kampanye astroturfing. Pola ini memungkinkan penciptaan simulasi gerakan sosial yang tampak organik, padahal seluruhnya adalah rekayasa yang diarahkan oleh tangan-tangan tersembunyi.