Strategi ini berbahaya karena mampu mengaburkan garis batas antara realitas dan ilusi. Publik yang menyaksikan video viral, membaca komentar ribuan akun, atau melihat tren topik di X (Twitter) mudah diyakinkan bahwa ada gerakan besar yang tengah berlangsung.
Padahal, sebagaimana kasus 25 Agustus, semua yang ditampilkan sehari sebelumnya hanyalah bayangan digital yang diproduksi. Dengan demikian, manufacturing chaos bekerja melalui penciptaan hyper-reality di mana persepsi lebih penting daripada fakta di lapangan.
Lebih jauh, kekacauan yang diproduksi ini berpotensi mengalihkan fokus masyarakat dari masalah substantif. Alih-alih memperjuangkan agenda kebijakan yang jelas, publik diarahkan untuk sibuk memperdebatkan isu yang dangkal, kabur, atau bahkan palsu.
Dengan begitu, para aktor yang berada di balik layar dapat memperoleh keuntungan politik dengan sedikit sekali biaya. Warga yang terjebak dalam lingkaran hoaks dan provokasi justru menjadi energi gratis yang digerakkan untuk kepentingan mereka.
Oleh karena itu, manufacturing chaos bukanlah sekadar gangguan sesaat, melainkan sebuah strategi politik jangka panjang. Ia menanamkan benih ketidakpercayaan, menormalisasi disinformasi, dan memecah-belah soliditas sosial.
Akibatnya, ruang publik menjadi arena bising yang penuh suara, tetapi miskin substansi. Demokrasi pun kehilangan daya deliberatifnya karena kebenaran dikaburkan, soliditas dikoyak, dan perdebatan publik direduksi menjadi komoditas manipulasi.
Industri Politik Kekacauan
Fenomena manufacturing chaos tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan bagian dari apa yang bisa disebut sebagai industri politik kekacauan. Para oligark ekonomi dan aktor politik (baik yang beroperasi secara resmi dalam arena kekuasaan maupun yang bergerak dari luar struktur formal) menjadikan kekacauan sebagai komoditas yang bisa diproduksi, dipasarkan, dan diperdagangkan. Kekacauan, dalam logika ini, bukan lagi risiko, melainkan aset yang bernilai tinggi.
Industri politik kekacauan bekerja melalui jaringan yang kompleks. Ada produsen narasi yang merancang isu, ada distributor digital yang mengedarkannya melalui media sosial, dan ada “tenaga lapangan” yang menyulut kericuhan di ruang nyata.
Semua ini beroperasi seperti rantai pasok industri, di mana setiap aktor memainkan perannya sesuai kepentingan. Hasil akhirnya adalah situasi politik yang gaduh dan cair, sehingga pihak yang memiliki kontrol atas narasi bisa memanfaatkannya untuk kepentingan jangka pendek.
Sama seperti industri hiburan yang mengeksploitasi sensasi, industri politik kekacauan mengeksploitasi keresahan. Narasi yang dibangun biasanya mengambil tema yang dekat dengan sentimen publik: isu korupsi, kenaikan harga, atau ketidakadilan sosial.