Namun, alih-alih mendorong solusi konkret, isu tersebut diputar menjadi komoditas provokatif. Publik dipancing untuk marah, kecewa, atau takut, tetapi tanpa arah yang jelas. Emosi kolektif inilah yang kemudian bisa dimonetisasi dalam bentuk posisi tawar politik.
Konsekuensinya, politik tidak lagi dijalankan untuk mencari jalan keluar terbaik bagi rakyat, melainkan untuk mengelola kekacauan agar menghasilkan keuntungan. Kekuasaan dijadikan semacam "marketplace" di mana ketidakstabilan diproduksi untuk meningkatkan nilai tawar kelompok tertentu. Dalam situasi ini, rakyat hanya diperlakukan sebagai objek pasif: sekadar pasar emosi yang bisa dimobilisasi sewaktu-waktu.
Karena itu, menyebut manufacturing chaos sebagai “industri” bukanlah hiperbola. Ada investasi modal, ada strategi produksi, ada distribusi, ada konsumsi, dan tentu saja ada keuntungan. Yang membedakan hanyalah produk yang diperdagangkan: bukan barang atau jasa, melainkan kekacauan politik dan ketidakpastian sosial.
Demokrasi yang Disabotase
Bahaya paling mendasar dari manufacturing chaos adalah sabotase atas demokrasi. Demokrasi, pada hakikatnya, dirancang sebagai ruang deliberasi di mana rakyat dapat menyuarakan aspirasi secara terbuka, transparan, dan akuntabel. Demonstrasi adalah instrumen sah dalam kerangka itu. Namun, ketika demonstrasi digandakan, dipalsukan, atau disusupi oleh kepentingan gelap, fungsi demokrasi dirusak dari dalam.
Subversi semacam ini membuat demokrasi tampak hidup di permukaan, tetapi sesungguhnya rapuh di dalam. Aksi-aksi rakyat yang otentik menjadi sulit dibedakan dari aksi bayangan yang direkayasa. Pada akhirnya, publik akan merasa jenuh dan apatis, karena setiap gerakan dianggap berpotensi palsu. Jika apatisme ini terus menular, partisipasi politik bisa runtuh, dan ruang demokrasi justru dikuasai oleh segelintir aktor manipulatif.
Lebih dari itu, sabotase ini juga merusak mekanisme akuntabilitas. Pemerintah, misalnya, bisa saja memanfaatkan keberadaan aksi-aksi palsu untuk mendelegitimasi kritik yang sah. Atau, sebaliknya, buzzer mengunggah kejadian palsu untuk menenggelamkan pandangan kritis yang tidak sejalan.
Mereka bisa dengan mudah menyebut gerakan pihak lain sebagai “rekayasa” atau “manipulasi”, meskipun sebagian darinya benar-benar organik. Dengan demikian, ruang kritik menjadi tumpul, sementara otoritarianisme justru menemukan dalih baru untuk memperkuat cengkeramannya.
Demokrasi yang sehat membutuhkan kepercayaan antara rakyat, organisasi sipil, dan negara. Namun, manufacturing chaos menghancurkan fondasi itu. Ia merusak hubungan antar-aktor politik, menimbulkan kecurigaan horisontal di masyarakat, dan memperlebar jarak antara rakyat dan institusi negara. Akibatnya, demokrasi tidak lagi menjadi alat untuk memperkuat soliditas sosial, melainkan ladang pertarungan kepentingan yang penuh manipulasi.
Dalam konteks inilah kita perlu menyadari bahwa manufacturing chaos bukan sekadar gangguan teknis, melainkan bentuk sabotase struktural terhadap demokrasi. Ia mengubah demokrasi dari sistem deliberatif menjadi panggung manipulatif, dari arena partisipasi rakyat menjadi instrumen elite. Bahayanya, kerusakan ini sering kali tidak kasat mata, melainkan bekerja secara perlahan, tetapi menghantam inti demokrasi hingga rapuh.
Efek Psikologis dan Sosial