Kipas Kasus yang Terbuka Lebar
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia dihantam badai berita korupsi tanpa jeda. Hampir setiap pekan publik dibombardir dengan kabar tentang pejabat yang ditangkap, dana triliunan yang hilang, atau proyek raksasa yang ternyata penuh manipulasi. Dari tambang timah di Bangka Belitung hingga ruang rapat kementerian di Jakarta, korupsi menyingkap wajah negara yang rapuh di hadapan rakyatnya.Â
Nilai kerugian yang terungkap pun menembus batas nalar sehari-hari. Bukan lagi sekadar miliaran atau triliunan, melainkan mendekati kuadriliun, angka yang tak pernah terbayangkan tetapi kini jadi kenyataan pahit.
Kasus tata niaga timah menjadi gambaran yang paling mencolok. Ketika Kejaksaan Agung mengumumkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, publik terperanjat bukan hanya oleh besarnya angka, tetapi juga oleh bentuk kerugian yang nyaris tak bisa dihitung ulang: kerusakan ekologis.Â
Lahan-lahan bekas tambang berubah jadi kawah mati, sumber air yang dulu menjadi nadi kehidupan tercemar limbah, dan ekosistem yang selama puluhan tahun menopang komunitas lokal runtuh tanpa bisa dipulihkan segera. Sementara itu, keuntungan superbesar mengalir deras ke segelintir orang yang piawai memanfaatkan celah regulasi dan kelemahan pengawasan.
Tak lama setelah publik menelan kenyataan getir dari kasus timah, muncul skandal di tubuh Pertamina. Didahului dengan drama kolosal bensin oplosan, kasusnya mengerucut pada tata kelola minyak dan kilang dengan kerugian negara mencapai Rp 193 triliun hanya dalam satu tahun.Â
Sejak 2018, jika seluruh potensi kerugian ditotal, nilainya mendekati Rp 1 kuadriliun. Angka itu melampaui anggaran pendidikan nasional, padahal pendidikan adalah sektor yang mestinya menjadi prioritas pembangunan bangsa. Betapa akan berbedanya wajah negeri ini jika jumlah itu benar-benar dipakai untuk beasiswa, riset, atau perbaikan sekolah-sekolah di pelosok.
Namun, dunia pendidikan sendiri tak luput dari skandal. Proyek pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun yang seharusnya menjembatani kesenjangan digital justru berujung pada ironi.Â
Banyak sekolah penerima bantuan bahkan tidak memiliki jaringan internet, sebagian lain tidak punya listrik memadai. Laptop yang datang kerap rusak, tidak bisa dipakai, atau dijual kembali. Alih-alih membuka pintu baru bagi anak-anak di desa terpencil untuk mengakses dunia digital, proyek itu menjadi simbol betapa jauhnya keputusan elite dari kenyataan hidup rakyat.
Di ranah pembiayaan, LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) juga terseret dalam penyalahgunaan dana hingga Rp 11,7 triliun. Padahal, lembaga ini dirancang untuk menopang ekspor, khususnya bagi pengusaha kecil dan menengah yang berjuang masuk pasar global. Alih-alih menjadi penopang, lembaga itu malah berubah menjadi ladang korupsi.Â