Di Balik Ambisi Penulisan Ulang
Agenda perilisan hasil penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) akhirnya ditunda. Momentum peringatan Kemerdekaan RI ke-80 tidak jadi dipakai sebagai selebrasi proyek historiografi versi resmi pemerintahan Prabowo yang diprakarsai oleh Kementerian Kebudayaan ini.Â
Terlepas dari alasan teknis-prosedural yang disampaikan oleh sang menteri, Fadli Zon, penundaan dilakukan sangat mungkin karena agenda tersebut dikalkulasi tidak lolos dari proses testing the water sejak awal proyek senilai Rp 9 miliar ini diluncurkan sehingga tidak akan menguntungkan posisi politik pemerintah sendiri.
Perlawanan terhadap proyek historiografi resmi tersebut memang terbilang sangat sengit sedari awal. Kecurigaan dan kritik tajam datang bertubi-tubi dari banyak kalangan, tak terkecuali dari para akademisi dan aktivis hak asasi manusia. Kondisi ini pun semakin diperparah oleh penyangkalan kontroversial Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, terhadap peristiwa pemerkosaan massal dalam tragedi 1998.Â
"Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," ucap Fadli Zon pada 8 Juni 2025 (kompas.com, 15/6/2025).
Belum lagi counter dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang kembali melakukan blunder ketika meminta pihak yang mengkritik proyek penulisan ulang sejarah untuk tahu diri. "Kita yang mengkritik ini juga harus tahu diri nih, kita punya kompetensi dan literatur profesionalitas dalam menilai sebuah tulisan sejarah apa tidak?" kata Hasan Nasbi (kompas.com, 30/6/2025).
Pernyataan Hasan Nasbi tersebut jelas menambah panjang daftar komunikasi publik yang tidak elok dan bahkan menyakitkan dari pihak pemerintah. Pada bulan sebelumnya, Agus Mulyana, Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kementerian Kebudayaan, Â menuding dan memberi cap kepada pihak yang menolak dan mengkritik proyek penulisan sejarah sebagai kelompok sesat sejarah. "Ada kelompok yang bilang proyek ini untuk mencuci dosa masa lalu. Saya kira itu perspektif yang bisa disebut bid'ah sejarah," kata Agus dalam diskusi dengan PBNU (tempo.co 27/5/2025).
Akibatnya, dari semua blunder yang dilakukan oleh pemerintah sendiri, proyek historiografi resmi tersebut telah mengalami defisit kepercayaan publik yang teramat dalam. Bahkan, ketika Fadli Zon berusaha memoles proyek ini sebagai upaya pemerintah untuk menulis sejarah dengan "tone positif" dan membangkitkan kebanggaan generasi muda, justru semakin dicurigai sebagai kamuflase politis untuk menyembunyikan kepentingan rezim. Kritik tajam publik pun kian tak terbendung.
Penekanan pada "tone positif" segera memunculkan pertanyaan: Apakah sejarah bisa diarahkan hanya pada satu warna nada tanpa ada kekuasaan tunggal yang memaksakannya? Bagaimana pun, tak terkecuali di Indonesia, sejarah adalah ruang di mana kisah luka, duka, dan konflik juga harus mendapat tempat. Menyaring sejarah agar selalu terdengar positif berarti menyingkirkan sisi gelap perjalanan bangsa.
Publik masih mengingat bagaimana Sejarah Nasional Indonesia versi Orde Baru menyingkirkan banyak fakta demi kepentingan stabilitas politik. Tragedi 1965, misalnya, dituturkan sepihak, penuh propaganda, dan menutup rapat-rapat suara korban. Kini, ketika pemerintah berjanji menulis ulang sejarah, ekspektasi masyarakat adalah terbukanya ruang koreksi, transparansi, dan keberanian menghadapi masa lalu. Alih-alih menjanjikan itu, wacana "tone positif" justru menimbulkan kecurigaan akan lahirnya pengulangan bias.
Di ruang publik, komentar-komentar kritis segera muncul. Akademisi menyoroti kemungkinan sejarah menjadi proyek kosmetik politik. Aktivis HAM menegaskan bahwa narasi sejarah tidak boleh menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi. Bahkan penyintas tragedi masa lalu menyuarakan kekhawatiran bahwa penderitaan mereka kembali dihapus, kali ini atas nama optimisme bangsa. Semua reaksi ini memperlihatkan bahwa penulisan ulang sejarah bukan sekadar kerja akademis, melainkan juga kerja moral.