Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dipajak Negara, Dipalak Koruptor: Bagaimana Rakyat Harus Bayar Berkali-kali dan Semakin Dimiskinkan

26 Agustus 2025   05:01 Diperbarui: 26 Agustus 2025   05:01 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korupsi (Sumber: Kompas.com/Shutterstock)

Beban Korupsi Per Kepala

Tahun 2024 mencatatkan angka yang menyesakkan. Menurut laporan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), sejak pertengahan Januari hingga Desember 2024, nilai transaksi korupsi di Indonesia mencapai Rp 984 triliun. Disusul oleh transaksi tindak pidana di bidang perpajakan sebesar Rp 301 triliun, perjudian sebesar Rp 68 triliun, dan narkotika sebesar Rp 9,75 triliun (kompas.com 24/4/2025).

Bagi sebagian orang, angka transaksi korupsi Rp 984 triliun terlalu besar untuk dibayangkan, terlalu abstrak untuk dicerna. Namun, jika angka itu dibagi rata ke seluruh penduduk pada 2024, sebanyak 283,5 juta jiwa (termasuk bayi yang baru lahir hingga lansia yang sudah tidak produktif) maka setiap orang menanggung beban korupsi sekitar Rp 3,47 juta. 

Atau, setara dengan Rp 13-14 juta per keluarga dengan empat orang anggota. Setara atau bahkan melebihi UMR buruh dalam sebulan, atau sama dengan biaya kuliah satu semester di universitas negeri, atau ongkos kebutuhan pangan sebulan penuh bagi keluarga kecil. 

Namun, Rp 984 triliun barulah bagian yang tampak. Korupsi yang tidak terdeteksi jelas lebih besar, karena praktik rente yang canggih sering kali lolos dari pengawasan. 

Lebih dari itu, masih ada beban lanjutan dari praktik korupsi tahun-tahun sebelumnya yang meninggalkan jejak berupa proyek mangkrak, utang negara yang membengkak, dan kerusakan fasilitas publik. Dengan kata lain, Rp 3,47 juta per orang hanyalah harga minimum; harga sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.

Konsekuensi korupsi tidak berhenti pada uang yang hilang. Ia menjelma menjadi jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, ruang kelas yang kekurangan guru, obat yang langka di puskesmas, serta birokrasi yang berbelit. 

Korupsi menggerogoti masa depan, membuat anak-anak tumbuh di bawah bayang-bayang inefisiensi, sementara orang dewasa harus beradaptasi dengan layanan publik yang setengah hati.

Di titik inilah kita harus jujur melihat wajah korupsi: bukan sekadar persoalan moral elite, melainkan tragedi kolektif yang menjerat seluruh warga. Setiap rupiah yang lenyap adalah hak publik yang dicuri. Setiap triliun yang menguap adalah mimpi yang direbut sebelum sempat diwujudkan.

Beban Pajak yang Tak Seimbang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun