"Bagiamana kamu bisa kesiangan, Lif. Kamu kan sudah biasa bangun sebelum subuh." Ibunya melepas mukena, mereka baru selesai sholat. Tidak mungkin Alif mengatakan, dia tidak bisa tidur gara-gara ucapan ibunya semalam.
  "Aku habis mengulang pelajaran, Bu. Agar tidak lupa dengan ilmu yang telah aku pelajari." Alif tersenyum kecil. Wajah ibunya ganas sekali, seperti hewan buas yang sedang lapar, baru kali ini dia melihat ibunya seperti ini. Ibunya terus melototi anaknya. Alif tertunduk tidak berani menatap balik.
  "Ibu percaya, Lif. Tapi jangan sampai larut malam juga, masih ada hari esok." Ibunya tertawa kecil, lalu mengelus-elus rambut anaknya. Alif menghela napas lega. Keringat mengucur deras di dahi karena ketakutan.
  "Yaudah ibu mau masak dulu." Ibunya berdiri, lalu menaruh mukena di lemari. Alif pun ikut beranjak pergi menuju kamarnya. Mengecek. Apakah sudah ada pengumuman lulus atau belum. Laptopnya di buka. Dia tidak terlalu berharap tinggi pada hasil. Namun, tidak dengan ibunya. Bagaimana cara bicara pada ibunya, apabila gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri. Alif lebih khawatir dengan itu, daripada pengumumannya.
  Waktu terus berjalan. Alif semakin tegang. Keringat mengucur deras di dahi. Hitungan tinggal lima menit lagi. Alif tidak berkedip memandang layar laptopnya. Pikirannya sudah membayangkan apabila tidak diterima, ibunya pasti akan marah. Bukan marah, lebih tepatnya sedih. Alif menggigit bibir, jantungnya berdegup kencang. Akhirnya pengumuman keluar. Alif membukanya, mencari namanya. Dari huruf A dia bacakan nama-nama yang lulus, sampai berpindah ke huruf B namanya tidak ada. Dia mencoba sekali lagi, kali ini sampai akhir, kali saja namanya berada di tengah-tengah. Namun, biasanya berurutan. Tetap tidak ada namanya. Alif menghela napas takut. Ibunya pasti akan merengut mendengarnya. Dia menutup laptop, lalu pergi menemui ibunya. Dia Berusaha tetap tenang.
  "Bu." Alif memanggil-manggil. Ibunya tidak menyahut seruannya. Sepertinya ibunya sedang berbelanja di warung. Namun, aroma masakan sudah terasa, tidak mungkin ibunya pergi ke warung. Alif menunggu di ruang tamu. Tidak lama kemudian ibunya datang membawa plastik berisi telur.
  "Tumben kamu disini, Lif." Ibunya bertanya, menghampiri.
  "Aku mau bicara, Bu." Suaranya terdengar lirih. Matanya takut menatap wajah ibunya. Alif menunduk.
  "Mau bicara apa." Ibunya duduk di samping, sambil menatap curiga anaknya. Perasaannya tidak enak. Jangan-jangan anaknya tidak lulus.
  "Aku tidak lulus Perguruan Tinggi Negeri, Bu." Suaranya terbata-bata, pelan-pelan dia keluarkan. Ibunya menghela napas panjang. Benar saja dugaannya.
  "Tidak apa, Lif. Kamu masuk STAI saja ibu mempersilahkan. Berarti belum rezeki kamu masuk di Perguruan Tinggi Negeri. Ibu tidak marah. Ini hanya harapan ibu. Ibu selalu mendukung apapun keputusan kamu." Ibunya tersenyum, lalu memeluk erat anaknya.