Ketika Sekolah Menanam Budi dan Orang Tua Menyiram dengan Hati
Di saat sekolah menyukseskan program gerakan karakter namun berbanding terbalik dengan realita yang ada. Kita bahkan mengelus dada menyaksikan di televisi atau media sosial pemandangan yang kontras. Dengan mudahnya memanfaatkan jabatan untuk menyuarakan kebijakan tanpa memikirkan dampak yang terjadi. Jika masyarakat sudah mulai geram, mulailah drama minta maaf seakan melunakkan hati dengan tulus melupakan dengan mudah. Harusnya para elit yang menjadi pejabat publik memberikan keteladanan mengenai moral dan integritas.
Sebagai pendidik tentu sangat menyayangkan sikap tersebut. Apalagi beliau memiliki pengaruh terhadap masyarakat yang tak semestinya menunjukkan sikap arogan, berbicara sesuka hati tanpa dasar yang jelas dan ini menjadi tontonan sehari-hari yang tanpa disadari memberikan teladan kurang baik bagi generasi muda. Padahal murid tidak hanya belajar dari sekolah melalui guru, buku tapi apa yang murid lihat. Jikalau murid melaksanakan kesalahan, maka murid dapat menggunakan pendapat yang dicontohkan para publik figur yang tak selaras dengan pengajaran moral. Hal ini tentu menjadi tantangan dan menjadi salah satu indikator bahwa anak tak salah memiliki sudut pandang dalam menyikapi sesuatu masalah.
Cara belajar murid saat ini beragam dan dimungkinkan bisa tumbuh melalui nilai-nilai  yang diajarkan hanyalah teori yang mudah dilanggar. Oleh karena itulah, sudah semestinya semua pihak berkolaborasi untuk menjadikan bangsa yang beradab tidak hanya cerdas secara keilmuan tapi beradab yang dapat melihatkan kualitas keilmuannya. Sehingga tidak ada tanggapan bahwa penguatan karakter, degradasi moral karena sekolah kurang memfungsikan diri sebagai agen perubahan yang dapat menumbuhkan dan menguatkan moral anak bangsa. Â
Sekolah sebagai salah satu sarana untuk menanamkan budi pekerti atau karakter melalui pendidikan formal, sementara orang tua di rumah menyiramnya melalui bentuk keteladanan nyata begitu halnya dengan publik figur atau lingkungan. Dengan adanya sinergi ini diharapkan benih kebaikan akan terus tumbuh di tengah arus derasnya kemajuan zaman dan contoh yang kurang baik yang selalu ada dari berbagai pihak.
Sekolah sebagai Penyemai Karakter
Sekolah yang visioner tentu memiliki sebuah terobosan untuk mengembangkan budaya baik yang menjadi unggulan terutama berkaitan dengan moral/karakter. Melalui serangkaian program yang membangun ditambah dengan kolaborasi warga sekolah kuat maka budaya baik akan mudah diterapkan dalam berbagai kegiatan positif di sekolah.
Hal ini tentu akan berdampak pada proses penguatan. Ibarat karakter murid seperti tanaman. Murid dapat tumbuh dari benih yang bagus, dirawat dengan penuh ketulusan dan kesabaran lalu disiram dengan mendidik penuh kasih sayang. Sehingga sekolah menjadi salah satu sarana penyemaian benih untuk ditanam baik berkaitan dengan nilai moral, budi pekerti, dan kecerdasan sosial. Namun, apakah kerja keras dari sekolah membuahkan hasil tanpa melibatkan orang lain? Tentu saja belum maksimal. Penanaman benih memerlukan siraman dan perhatian baik dari orang dan lingkungan agar benih tersebut tetap hidup dan berbuah sesuai harapan.
Di sekolah, murid tak hanya belajar berbagai mata pelajaran tapi juga nilai kehidupan sebagai bekal life skill nya  yakni kerja sama, kejujuran, tanggung jawab, empati, dan sebagainya. Guru di sekolah sebagai petani nilai yang dapat menabur budi melalui keteladanan, pembiasaan baik, dan nasihat bijak.
Ada sebuah ungkapan guru merupakan sosok digugu lan ditiru. Hal tersebut sebagai refleksi dalam bertindak dan bertutur menjadi bahan pertimbangan agar selaras dengan apa yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Jikalau hal tersebut dilanggarnya maka yang terjadi  murid akan patuh di muka tapi akan berbeda di belakang. Hal ini mengakibatkan hilangnya marwah sebagai panutan yang dapat diteladani murid.