Mohon tunggu...
Haqi Hilmawan
Haqi Hilmawan Mohon Tunggu... Freelance

Menurut saya, menulis bukan sekedar berpikir, melainkan menjadi teman cerita untuk diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nasihat orang tua

19 Agustus 2025   19:09 Diperbarui: 19 Agustus 2025   19:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pinterest 

   Malam menjelang pagi. Waktu Fajar telah tiba. Alif terbangun dari tidurnya, tidak lama ibunya menyusul bangun. Suara Adzan berkumandang indah memasuki rumah rumah. Alif sudah terbiasa bangun sebelum subuh, itu rutinitas sehari-hari di Pesantren. Setelah mengambil wudhu, Alif menjadi imam, ibunya yang menyuruh. Suara Alif sangat merdu, membuat tenang hati ibunya. Selesai sholat. Alif membuka laptop, lalu membuka website SNPMB, (Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru), dia mengambil jalur SNBP. Karena banyak prestasi yang diraih sewaktu di pesantren. Prestasi akademik maupun non-akademik.

   Setelah mengisi pendaftaran, lalu mengisi data yang di perlukan. Alif mengirim semua prestasinya. Tinggal menunggu hasil dari pusat. Kalaupun tidak lulus jalur prestasi, Alif sudah punya tujuan kedua, yaitu masuk STAI, (Sekolah Tinggi Agama Islam). Mau kuliah dimana pun sama saja belajarnya. Yang terpenting Alif bisa mengamalkan ilmu yang telah dia pelajari. Memberikan kontribusi bagi masyarakat, menjadi contoh bagi anak muda sepantarannya.

   "Ibu doakan semoga lulus, Lif." Tiba tiba ibunya masuk tanpa mengetuk pintu kamar dulu."Pasti, Bu." Alif tersenyum.

   Hari itu Alif di rumah saja, mengulang-ulang pelajaran. Kalau ibunya minta tolong, Alif akan membantunya. Selebihnya Alif menghabiskan waktu di kamar. Saat kepalanya sudah mulai pusing, Alif mencari suasana baru. Dia keluar rumah. Melihat-lihat tempat bermain waktu kecilnya. Alif punya teman kecil, namun teman-teman Alif sudah pada sibuk dengan dunianya masing-masing. Maka, sulit sekali untuk bertemu. Kalaupun direncanakan, pasti ada saja yang tidak bisa. Lagipula Alif tidak memiliki nomor telepon teman-temannya, jadi percuma saja. Sesekali orang lewat menyapa Alif. Orang itu binggung, dia pikir Alif sedang berkunjung ke rumah saudaranya. Karena orang orang hampir tidak mengenali Alif. Mereka hanya tau waktu kecilnya saja. Hampir sejam berkeliling kampung. Alif melihat banyak perubahan yang terjadi. Seperti jalanan yang semakin meninggi, lalu yang tadinya sawah sekarang berubah jadi rumah. Lapangan yang dulu tempat Alif dan teman-temannya bermain kelereng, panggal, dan layang-layang. Sekarang jadi sekolah TK. Alif mampir sebentar ke warung membeli minum, tenggorokannya haus sekali. Cuaca memang sedang panas-panasnya.

   "Kamu dari mana saja, Lif?. Ibu mencarimu kemana-mana." Ibunya bertanya saat Alif membuka pintu pagar. Ibunya sedang menjemur pakaian."Aku habis keliling kampung, Bu. Maafkan aku membuat ibu khawatir." Alif menutup kembali pintu pagar, lalu menghampiri ibunya. Pembicaraan tidak panjang, Alif langsung masuk menuju kamarnya.

   Alif teringat kenangan masa kecil bersama teman-temannya. Dia sampai tersenyum-senyum sendiri dalam kamar. Itu adalah momen terindah. Saat dewasa, masa kecil hanya sebuah ingatan, yang tidak dapat terulang. Sekarang, teman-temannya sibuk mengejar impiannya masing-masing, begitupun Alif. Pertemuan hanyalah sebuah kata, kalaupun terjadi, sekedar melepas rindu, tidak mengulang masa kecil dulu.

   Malam datang membungkus sunyi. Rembulan terang, seterang kabar baik yang datang melalui ponsel ibunya. Ibunya di telepon oleh teman lamanya. Ingin menawarkan Alif untuk mengajar di sekolah tempatnya mengajar. Kabar baik itu langsung di sampaikan pada Alif. Tanpa berpikir panjang, Alif menerima tawaran itu. Sekolah swasta, bernama, Madrasah Ibtidaiyah Al Barkah. Tidak terlalu jauh jaraknya dari rumahnya, sekitar 5km. Dia mengajar sebagai guru Agama.

   "Jadi, kapan aku mulai mengajar, Bu." Alif bertanya setelah ibunya selesai menelpon.

   "Nanti di kabari lagi sama teman ibu. Bagaimana dengan Perguruan Tinggi Negeri, Lif. Kamu lulus, tidak." Ibunya balik bertanya."Besok pengumuman hasilnya. Aku sudah punya tujuan kedua kalau ini gagal." Alif menggaruk kepalanya. Dia takut ibunya kecewa dengan hasil besok. Ada tiga jalur untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri, jalur prestasi, jalur tes, dan jalur mandiri. Namun Alif mencoba satu jalur saja, kalau gagal dia akan masuk ke STAI, tidak mencoba jalur kedua dan ketiga.

   "Ibunya menghela napas." Ibu sangat berharap kamu lulus, Lif." Ibunya langsung keluar kamar. Malam itu Alif memikirkan ucapan ibunya, msmbuat dia tidak bisa tidur. Ucapan itu terngiang-ngiang di kepala. Sudah berusaha berbaring ke kanan, ke kiri, tengkurap, telentang, tetap saja tidak hilang dari kepalanya. Malam itu Alif memutuskan untuk mengulang-ulang pelajaran, mengalihkan ucapan ibunya. Sedikit demi sedikit pengalihannya berhasil. Lama-lama ucapan itu menghilang, tergantikan. Alif mengepalkan tangan, gembira. Hingga dia tertidur di meja belajar, berhasil melupakan sejenak ucapan ibunya.

   Keesokan harinya. Alif bangun kesiangan, begitupun ibunya. Setengah enam mereka baru bangun. Namun masih sempat untuk sholat subuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun