"Akhirnya aku lulus, Bu. Setelah lama menimba ilmu di Pesantren, aku sudah tidak lagi menjadi santri. Horee!!. Aku bebas." Alif berteriak, sambil membentangkan tangannya lebar-lebar.
  "Kamu tidak boleh bahagia dulu, Nak. Ini baru awal perjalananmu. Dunia tidak seperti yang kamu bayangkan. Jadi, sebarkan ilmu yang kamu punya pada orang-orang awam. Jaga dirimu baik-baik, jangan sampai kamu yang terhasut." Ibunya memberi nasehat.
  Di akhir zaman, susah membedakan antara orang yang benar-benar baik dan pura-pura baik. Makanya, ibunya menyuruh Alif untuk tetap berpegang teguh pada ilmu agama, dan menyebarkan seluas-luasnya.
  "Alif mengangguk dan tersenyum.
  "Apakah hasutan wanita lebih berbahaya, Bu?." Alif bertanya. Sambil berjalan menuju parkiran mobil.
  "Tidak semua wanita seperti itu. Namun, kamu harus pintar-pintar mencarinya. Wanita zaman sekarang mampu menyimpan rahasia dalam dalam, hingga tidak terlihat oleh siapapun. Rayuan wanita lebih kejam, Nak. Kamu harus berhati-hati." Ibunya tersenyum menatap anaknya yang kini sudah besar, lalu mengelus rambutnya yang berantakan.
  "Alif tersenyum simpul. Dari dulu dia hanya sekedar suka saja, tidak pernah sampai pacaran. Saling tatap dari jauh, lalu sama sama tersenyum. Saling mengirim surat, lalu sekedar mengasih surat saja, tidak berani bicara berdua.
  Ibunya membuka pintu mobil, lalu Alif masuk. Mobil perlahan jalan. Baru sampai pintu keluar parkiran, mobil terhenti karena macet~yang disebabkan banyak orang tua santri yang menjenguk, adik kelas Alif. Di hari kelulusan Alif, ayahnya tidak bisa hadir, sebab tugas yang pindah-pindah. Ayah Alif bekerja di kapal pesiar, bukan sebagai nakhoda kapal, melainkan sebagai Chef. Setahun sekali ayahnya baru pulang, atau kalau lagi cuti, bisa setahun dua kali. Gerimis membasahi jalanan kota. Suasana jalan ramai, mobil saling klakson, motor buru buru takut kehujanan. Jarak yang cukup jauh menuju rumah, sekitar 45 km.
  Alif adalah anak tunggal, makanya ibunya sangat menjaga dia sekali, supaya dia tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. Apalagi sekarang Alif sudah lulus, ibunya khawatir sekali, takut anaknya salah jalan. Jalanan mulai lenggang, namun gerimis terus turun. Lampu merah membuat seluruh mobil dan motor berhenti. Alif memandang seorang anak kecil yang membagikan amplop kosong, lalu di taruh disela spion, ibunya membuka kaca, ia membaca tulisan di amplop itu, (Semoga selamat sampai tujuan, sehat selalu), di samping tulisan ada emot senyum. Ibunya memasukkan sejumlah uang, lalu ditaruh kembali. Anak kecil itu mengambil kembali amplopnya, Alif melihatnya terharu."Semoga di beri rezeki yang melimpah." Ucap Alif dalam hatinya. Mendoakan anak kecil itu. Dia selalu bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan saat ini. Perhatian orang tua, walau lebih ke ibu, sebab ayahnya sibuk bekerja, ia memaklumi itu. Kasih sayangnya. Keinginan apapun yang terus dituruti, memiliki segalanya, tanpa adanya kesusahan.
  "Akhirnya kita sampai, Lif." Ibunya mematikan mesin mobil, lalu turun membantu Alif membawa ranselnya.
 "Tidak apa biar aku saja, Bu. Lebih baik ibu masuk ke dalam saja, istirahat." Alif menolak bantuan ibunya. Namun, apa boleh buat, ibunya tetap kekeh membantu. Alif tidak bisa menolak lagi.
  "Ibu sudah buatkan sup ayam untukmu, tinggal dipanaskan saja." Ibunya menyiapkan sarapan malam. Setelah selesai mandi, Alif duduk di kursi meja makan sambil menunggu sup ayam matang. Aromanya tercium lezat, membuat perut Alif keroncongan.
  "Aku sudah tidak sabar, Bu. Ingin mencicipinya. Ibu lebih jago dari ayah, kalau soal memasak." Alif memuji. Benar yang dikatakannya. Ayahnya memang seorang chef, tapi kalau soal masak di rumah, ayahnya kalah.
  "Sup ayam siap di santap." Ibunya membawa mangkuk berukuran besar, asap mengepul, membanjiri ruangan. Setelah selesai makan malam. Terdengar suara dering telepon berbunyi, ayahnya Video call.
  "Halo, apa kabar kalian berdua." Ayahnya melambaikan tangan, tersenyum.
  "Baik, Yah. Ayah bagaimana?." Istrinya bertanya, Alif terlihat bahagia.
  "Baik, Bu. Alif mau kuliah dimana?." Ayahnya bertanya.
  "Aku masih binggung, Yah. Aku mau mencoba SNBP, (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), tapi takut gagal." Alif tersenyum tipis.
  "Kamu coba saja dulu. Kegagalan bukan berarti kamu kalah, Lif." Ibunya mengelus rambut anaknya.
  "Benar yang di katakan ibumu, Lif. Kalau kamu tidak mencoba, kamu tidak tau hasilnya." Ayahnya tersenyum. Perbincangan yang cukup lama. Saking rindunya, ibu Alif tidak ingin suaminya mematikan telepon. Namun, karena pekerjaan yang membuat rindu itu harus tertunda. Hampir sejam mereka bicara, dan ayah Alif harus melanjutkan pekerjaannya, akhirnya telepon dimatikan. Ibu Alif mendengus kesal.
  "Sudah malam, lebih baik kamu tidur, Lif. Jangan terlalu dipikirkan." Ibunya memeluk erat. Lantas Alif beranjak pergi menuju kamarnya.
  Malam menjelang pagi. Waktu Fajar telah tiba. Alif terbangun dari tidurnya, tidak lama ibunya menyusul bangun. Suara Adzan berkumandang indah memasuki rumah rumah. Alif sudah terbiasa bangun sebelum subuh, itu rutinitas sehari-hari di Pesantren. Setelah mengambil wudhu, Alif menjadi imam, ibunya yang menyuruh. Suara Alif sangat merdu, membuat tenang hati ibunya. Selesai sholat. Alif membuka laptop, lalu membuka website SNPMB, (Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru), dia mengambil jalur SNBP. Karena banyak prestasi yang diraih sewaktu di pesantren. Prestasi akademik maupun non-akademik.
  Setelah mengisi pendaftaran, lalu mengisi data yang di perlukan. Alif mengirim semua prestasinya. Tinggal menunggu hasil dari pusat. Kalaupun tidak lulus jalur prestasi, Alif sudah punya tujuan kedua, yaitu masuk STAI, (Sekolah Tinggi Agama Islam). Mau kuliah dimana pun sama saja belajarnya. Yang terpenting Alif bisa mengamalkan ilmu yang telah dia pelajari. Memberikan kontribusi bagi masyarakat, menjadi contoh bagi anak muda sepantarannya.
  "Ibu doakan semoga lulus, Lif." Tiba tiba ibunya masuk tanpa mengetuk pintu kamar dulu."Pasti, Bu." Alif tersenyum.
  Hari itu Alif di rumah saja, mengulang-ulang pelajaran. Kalau ibunya minta tolong, Alif akan membantunya. Selebihnya Alif menghabiskan waktu di kamar. Saat kepalanya sudah mulai pusing, Alif mencari suasana baru. Dia keluar rumah. Melihat-lihat tempat bermain waktu kecilnya. Alif punya teman kecil, namun teman-teman Alif sudah pada sibuk dengan dunianya masing-masing. Maka, sulit sekali untuk bertemu. Kalaupun direncanakan, pasti ada saja yang tidak bisa. Lagipula Alif tidak memiliki nomor telepon teman-temannya, jadi percuma saja. Sesekali orang lewat menyapa Alif. Orang itu binggung, dia pikir Alif sedang berkunjung ke rumah saudaranya. Karena orang orang hampir tidak mengenali Alif. Mereka hanya tau waktu kecilnya saja. Hampir sejam berkeliling kampung. Alif melihat banyak perubahan yang terjadi. Seperti jalanan yang semakin meninggi, lalu yang tadinya sawah sekarang berubah jadi rumah. Lapangan yang dulu tempat Alif dan teman-temannya bermain kelereng, panggal, dan layang-layang. Sekarang jadi sekolah TK. Alif mampir sebentar ke warung membeli minum, tenggorokannya haus sekali. Cuaca memang sedang panas-panasnya.
  "Kamu dari mana saja, Lif?. Ibu mencarimu kemana-mana." Ibunya bertanya saat Alif membuka pintu pagar. Ibunya sedang menjemur pakaian."Aku habis keliling kampung, Bu. Maafkan aku membuat ibu khawatir." Alif menutup kembali pintu pagar, lalu menghampiri ibunya. Pembicaraan tidak panjang, Alif langsung masuk menuju kamarnya.
  Alif teringat kenangan masa kecil bersama teman-temannya. Dia sampai tersenyum-senyum sendiri dalam kamar. Itu adalah momen terindah. Saat dewasa, masa kecil hanya sebuah ingatan, yang tidak dapat terulang. Sekarang, teman-temannya sibuk mengejar impiannya masing-masing, begitupun Alif. Pertemuan hanyalah sebuah kata, kalaupun terjadi, sekedar melepas rindu, tidak mengulang masa kecil dulu.
  Malam datang membungkus sunyi. Rembulan terang, seterang kabar baik yang datang melalui ponsel ibunya. Ibunya di telepon oleh teman lamanya. Ingin menawarkan Alif untuk mengajar di sekolah tempatnya mengajar. Kabar baik itu langsung di sampaikan pada Alif. Tanpa berpikir panjang, Alif menerima tawaran itu. Sekolah swasta, bernama, Madrasah Ibtidaiyah Al Barkah. Tidak terlalu jauh jaraknya dari rumahnya, sekitar 5km. Dia mengajar sebagai guru Agama.
  "Jadi, kapan aku mulai mengajar, Bu." Alif bertanya setelah ibunya selesai menelpon.
  "Nanti di kabari lagi sama teman ibu. Bagaimana dengan Perguruan Tinggi Negeri, Lif. Kamu lulus, tidak." Ibunya balik bertanya."Besok pengumuman hasilnya. Aku sudah punya tujuan kedua kalau ini gagal." Alif menggaruk kepalanya. Dia takut ibunya kecewa dengan hasil besok. Ada tiga jalur untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri, jalur prestasi, jalur tes, dan jalur mandiri. Namun Alif mencoba satu jalur saja, kalau gagal dia akan masuk ke STAI, tidak mencoba jalur kedua dan ketiga.
  "Ibunya menghela napas." Ibu sangat berharap kamu lulus, Lif." Ibunya langsung keluar kamar. Malam itu Alif memikirkan ucapan ibunya, msmbuat dia tidak bisa tidur. Ucapan itu terngiang-ngiang di kepala. Sudah berusaha berbaring ke kanan, ke kiri, tengkurap, telentang, tetap saja tidak hilang dari kepalanya. Malam itu Alif memutuskan untuk mengulang-ulang pelajaran, mengalihkan ucapan ibunya. Sedikit demi sedikit pengalihannya berhasil. Lama-lama ucapan itu menghilang, tergantikan. Alif mengepalkan tangan, gembira. Hingga dia tertidur di meja belajar, berhasil melupakan sejenak ucapan ibunya.
  Keesokan harinya. Alif bangun kesiangan, begitupun ibunya. Setengah enam mereka baru bangun. Namun masih sempat untuk sholat subuh.
  "Bagiamana kamu bisa kesiangan, Lif. Kamu kan sudah biasa bangun sebelum subuh." Ibunya melepas mukena, mereka baru selesai sholat. Tidak mungkin Alif mengatakan, dia tidak bisa tidur gara-gara ucapan ibunya semalam.
  "Aku habis mengulang pelajaran, Bu. Agar tidak lupa dengan ilmu yang telah aku pelajari." Alif tersenyum kecil. Wajah ibunya ganas sekali, seperti hewan buas yang sedang lapar, baru kali ini dia melihat ibunya seperti ini. Ibunya terus melototi anaknya. Alif tertunduk tidak berani menatap balik.
  "Ibu percaya, Lif. Tapi jangan sampai larut malam juga, masih ada hari esok." Ibunya tertawa kecil, lalu mengelus-elus rambut anaknya. Alif menghela napas lega. Keringat mengucur deras di dahi karena ketakutan.
  "Yaudah ibu mau masak dulu." Ibunya berdiri, lalu menaruh mukena di lemari. Alif pun ikut beranjak pergi menuju kamarnya. Mengecek. Apakah sudah ada pengumuman lulus atau belum. Laptopnya di buka. Dia tidak terlalu berharap tinggi pada hasil. Namun, tidak dengan ibunya. Bagaimana cara bicara pada ibunya, apabila gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri. Alif lebih khawatir dengan itu, daripada pengumumannya.
  Waktu terus berjalan. Alif semakin tegang. Keringat mengucur deras di dahi. Hitungan tinggal lima menit lagi. Alif tidak berkedip memandang layar laptopnya. Pikirannya sudah membayangkan apabila tidak diterima, ibunya pasti akan marah. Bukan marah, lebih tepatnya sedih. Alif menggigit bibir, jantungnya berdegup kencang. Akhirnya pengumuman keluar. Alif membukanya, mencari namanya. Dari huruf A dia bacakan nama-nama yang lulus, sampai berpindah ke huruf B namanya tidak ada. Dia mencoba sekali lagi, kali ini sampai akhir, kali saja namanya berada di tengah-tengah. Namun, biasanya berurutan. Tetap tidak ada namanya. Alif menghela napas takut. Ibunya pasti akan merengut mendengarnya. Dia menutup laptop, lalu pergi menemui ibunya. Dia Berusaha tetap tenang.
  "Bu." Alif memanggil-manggil. Ibunya tidak menyahut seruannya. Sepertinya ibunya sedang berbelanja di warung. Namun, aroma masakan sudah terasa, tidak mungkin ibunya pergi ke warung. Alif menunggu di ruang tamu. Tidak lama kemudian ibunya datang membawa plastik berisi telur.
  "Tumben kamu disini, Lif." Ibunya bertanya, menghampiri.
  "Aku mau bicara, Bu." Suaranya terdengar lirih. Matanya takut menatap wajah ibunya. Alif menunduk.
  "Mau bicara apa." Ibunya duduk di samping, sambil menatap curiga anaknya. Perasaannya tidak enak. Jangan-jangan anaknya tidak lulus.
  "Aku tidak lulus Perguruan Tinggi Negeri, Bu." Suaranya terbata-bata, pelan-pelan dia keluarkan. Ibunya menghela napas panjang. Benar saja dugaannya.
  "Tidak apa, Lif. Kamu masuk STAI saja ibu mempersilahkan. Berarti belum rezeki kamu masuk di Perguruan Tinggi Negeri. Ibu tidak marah. Ini hanya harapan ibu. Ibu selalu mendukung apapun keputusan kamu." Ibunya tersenyum, lalu memeluk erat anaknya.
  "Terimakasih, Bu." Alif balas memeluk.
  "Ayo kita makan, Lif." Ibunya beranjak mempersiapkan sarapan. Aroma masakannya masih mengharumkan langit-langit dapur. Alif pindah posisi duduk, di kursi meja makan. Ibunya memasak semur daging. Asap mengepul saat ibunya membawa ke meja makan. Ruangan lenggang sejenak, menyisakan suara sendok dan piring.
  Terdengar suara deru mesin mobil berhenti persis di depan rumah. Ibunya beranjak dari meja makan, melihat siapa yang datang. Alif pun ikut beranjak, penasaran. Seorang wanita keluar dari mobil. Penampilannya mewah, memakai kaca mata hitam dengan baju hitam dan celana kulot. Sepatu heels. Ibunya mengintip lewat jendela. Ternyata yang datang teman lamanya. Wanita yang menawarkan Alif mengajar.
  "Permisi." Wanita itu mengetuk pintu. Tanpa perlu menunggu lama, ibunya membukakan pintu.
  "Apa kabar, Jeng!." Wanita itu langsung memeluk ibunya. Alif hanya melihat dari kejauhan.
  "Kenapa tidak mengabari dulu kalau mau datang." Ibunya menyuruh masuk teman lamanya itu. Lantas Alif berinisiatif membuatkan minuman dan sedikit cemilan. Dia membawakan ke sofa ruang tamu.
  "Oh, ini anakmu. Kamu sudah siap menjadi guru di sekolah tempat Bibi mengajar." Wanita itu mengerutkan dahinya, lalu tersenyum. Alif mengangguk takhzim. Ibunya ikut tersenyum.
  "Aku kesini hanya ingin mengabari, bahwa besok Alif sudah bisa mengajar, dengan membawa persyaratan. Selayaknya seorang ingin melamar kerja saja." Wanita itu memberitahu. Sekaligus kabar baik bagi Alif. Ibunya ikut merasakan bahagia.
  "Aku tidak bisa berlama-lama, Jeng. Aku pamit ya." Wanita itu beranjak dari sofa. Ibunya mengantar hingga depan
berangkat. Ibunya sedang sibuk mengurus dapur. Tidak lama kemudian, Alif izin pada ibunya.
  "Hati-hati, Lif. Doa terbaik untukmu." Alif bersalaman. Tidak lupa ibunya mencium kening Alif. Matahari sudah muncul dari tadi. Pukul setengah tujuh Alif berangkat. Jalanan masih terlihat lenggang, hanya beberapa kendaraan yang lewat. Padahal waktu sudah agak siang. Perasaan bimbang yang menghantui Alif semalam, kini telah hilang sejenak berganti kesibukan. Pikirannya hanya fokus pada tujuannya sekarang. Mungkin setelah selesai sibuk, Alif akan teringat kembali.
  "Akhirnya sampai juga." Alif menghela nafas lega. Sekolah ramai sekali. Banyak Wali Murid yang datang mengantar anaknya. Alif binggung kemana dia menaruh berkas-berkasnya. Sedangkan Alif tidak mempunyai nomor teman ibunya. Nemun kebaikan pasti akan di balas dengan kebaikan. Tiba-tiba seorang wanita menghampi Alif. Wajahnya tidak asing, Alif tertegun melihatnya. Ternyata wanita itu Lina.
  "Kamu sedang apa disini." Lina bertanya.
  "Aku mau melamar jadi guru agama." Alif menjawab. Matanya tidak berkedip memandang wajah Lina.
  "Oh, kamu guru agamanya." Lina tertawa kecil. Mengajak Alif menuju ruang kepala sekolah. Lina adalah guru SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) di sekolah itu.
  Yang tadinya Alif sudah melupakan sejenak perasaannya. Dan kini kembali hadir dalam wujud nyata. Apakah ini bisa disebut jodoh?. Perasaan bimbang kembali menghantui Alif.
  Hari pertama mengajar yang penuh kebahagiaan. Di satu sisi Alif merasa bahwa dirinya harus melawan. Dia teringat pesan ibunya. Guru-guru pesantrennya, dan tidak lupa, ayahnya. Walau mereka jarang ketemu, tapi ayahnya adalah sosok inspiratif yang wajib Alif contoh. Banyak pelajaran-pelajaran yang tidak ada di sekolah, namun ada di ayahnya. Seperti, tentang pengalaman hidup, susahnya menjadi dewasa, dan bagaimana mengontrol nafsu. Apalagi ayahnya pernah berpesan."Bahwa rayuan wanita lebih meluluhkan hati dibandingkan setan".
  Saat itu Alif tidak terlalu menggubrisnya. Dia malah terus mengikuti hawa nafsunya. Tidak memikirkan ucapan orang tua. Diam diam Alif sering bertemu Lina. Apalagi mereka satu kampus, satu jurusan, dan satu kelas pula. Jadi, Alif lebih sering menghabiskan waktu bersama Lina daripada di rumah. Lama kelamaan hatinya mencair, mulai memasuki lubang hitam, yang membawanya pergi jauh.
  Setiap ingin berangkat kuliah. Alif menyempatkan waktu untuk menjemput Lina. Hampir setiap hari, begitupun ketika mengajar. Seiring berjalannya waktu. Mulailah Alif menyatakan perasaannya. Tanpa ada alasan, Lina menerimanya. Mereka resmi berpacaran. Alif lupa segalanya. Lupa pesan ibunya, ayahnya, guru-gurunya.
  Malam hari. Selayaknya pasangan. Alif dan Lina berpacaran di sebuah danau tengah kota. Saat itu suasana danau sepih. Angin kencang menusuk tubuh, membuat Lina Kedinginan. Alif berinisiatif memakaikan jaket ke tubuh Lina. Perlahan Alif merasakan degup kencang dalam dadanya. Aliran darahnya mengalir deras, gairahnya memuncak. Namun Alif berusaha menahan. Tapi tidak dengan Lina. Dia yang memulai semua itu. Lina tiba tiba mencium bibir Alif. Mereka bercumbu di danau tengah kota yang sepih oleh pengunjung. Alif mulai merasakan getaran dalam tubuhnya. Dia sudah tidak bisa menahan lagi. Alif terjatuh dalam kotoran yang lebih kotor dari kotorannya sendiri.
  Tidak sampai disitu. Mereka pergi mencari apartemen murah. Disitulah mereka berhubungan selayaknya suami istri. Alif sudah melebihi batas. Terbawa oleh bujukan setan yang terkutuk. Nikmat sesaat itu akan membawa perkara dalam hidupnya. Yang jadi perkara, Alif tidak pakai pengaman. Seumur hidupnya dia tidak pernah tau soal begituan. Tidak tau pula cara mengeluarkan diluar. Alif seperti lupa ingatan. Semua yang telah dia pelajari di pesantren hilang begitu saja. Dia belum tau dampak selanjutnya seperti apa.
  Setelah menikmati malam yang begitu indah. Alif mengantar Lina pulang. Dia merasa tidak ada kejadian apa-apa. Sebetulnya dampaknya di kemudian hari. Lina tidak merasa menyesal sama sekali, sama seperti Alif. Apa mungkin Lina pernah melakukan sebelumnya.
  Alif masuk diam-diam. Untungnya dia punya cara jitu, lewat jendela kamarnya. Ibunya sudah tidur. Alif merasa lega, sekaligus bahagia. Dia sampai senyum-senyum sendiri membayangkan kejadian tadi.
  Sebelum adzan subuh berkumandang. Alif sudah bangun. Tidak lupa dia mandi junub, sebelum melaksanakan sholat. Matanya terasa pedas, karena kurang tidur. Ibunya ingin membangunkan, namun Alif terlebih dahulu menghampirinya.
  Pagi yang cerah, secerah hati Alif. Namun yang bahaya adalah ketika ibunya bertanya padanya. Mudah-mudahan ibunya tidak curiga. Saat sarapan di meja makan, ibunya tidak menanyakan apa-apa. Alif menghela nafas lega. Dia buru-buru menghabiskan sarapan, berpamitan. Lantas menjemput Lina. Pagi hari Alif mengajar, siangnya kuliah. Rutinitas dari senen hingga Jum'at, kalau sabtu kuliahnya libur, jadi hanya mengajar saja.
  Sehabis mengajar, Alif berkuliah. Setelah itu mereka berpacaran hingga senja tenggelam. Malam itu mereka tidak melakukan apapun, hanya bermesraan di danau kemarin. Menatap hamparan air yang menenangkan. Angin sedikit mengibas rambut mereka. Kali ini Lina membawa jaket. Suasana syahdu. Ada hal yang ingin Lina katakan. Namun mulutnya seperti terkunci. Alif menatap Lina penuh dengan ketulusan. Sedangkan Lina entah bagaimana dia memandang Alif.
  "Aku ingin berbicara sesuatu, Lif. Ini menyangkut tentang semalam." Lina berusaha bicara dengan suara terbata-bata. Dia juga membawa hasil uji kehamilan, (Tespek).
  "Bicara apa, Lin." Alif menatap penasaran.
  "Aku hamil, Lif!." Lina mengasih hasil uji kehamilan. Alif termangu sejenak. Terkejut mendengarnya. Bagaimana caranya dia bicara pada ibunya. Kalau disembunyikan pasti akan ketahuan juga. Ibunya pasti marah besar. Syukur-syukur Alif masih dianggap anak, kalau diusir dari rumah, Bagaimana. Pikiran Alif langsung kacau. Perasaannya campur aduk.
  "Mungkin alatnya rusak, Lin. Kamu coba lagi saja." Alif berusaha tenang.
  "Kalau kamu tidak percaya, kita bisa coba USG." Lina semakin yakin bahwa dia hamil. Alif menghela nafas panjang. Pikirannya berpikir cepat. Sesegera mungkin dia harus memberitahu ibunya. Sebelum anak di dalam perut Lina membesar.
  Alif sudah siap menerima resiko. Apabila ibunya mengusir, Alif siap. Dia baru merasakan penyesalan dalam hati. Harusnya berpikir panjang dulu, sebelum bertindak. Memang setan paling jago menghasut manusia. Seorang ahli ilmu agama saja masih bisa terhasut. Dan tidak lupa, rayuan seorang wanita melemahkan laki-laki. Hal yang susah di tahan oleh laki-laki adalah hawa nafsunya.  Dan yang istimewa dari seorang wanita, dia mampu menahan hawa nafsunya. Itulah mengapa wanita suka di kejar, bukan mengejar, kecuali cabo. Namun berbeda dengan cerita ini. Lina yang memulai duluan.
  Alif pulang dengan wajah binggung. Ibunya sedang asyik menonton televisi. Dia menonton sinetron, berjudul,"Bayi terlarang yang tidak ingin dilahirkan". Dia menangis tersedu. Mengambil tisu di meja kaca. Alif ingin menghampiri, tapi ragu-ragu. Mungkin esok dia akan ceritakan semuanya. Malam ini biarlah ibunya menikmati sinetron. Tidak usah diganggu. Di dalam kamar, Alif merenung sejenak. Pikirannya tertekan oleh suara Lina yang terus terngiang-ngiang. Merasuk tubuh Alif, sampai dia tidak sanggup lagi melawan. Lantas berteriak sekencang-kencangnya, meluapkan semua kegundahan dalam dada. Ibunya mendengar teriakan Alif, lalu sinetron dia tinggalkan sebentar, lantas menghampirinya.
  "Kamu baik-baik saja, Lif." Ibunya bertanya, penasaran. Alif sedang tertunduk, terkejut melihat ibunya.
  "Baik, Bu. Aku lagi kesal saja sama tugas dosen." Alif tersenyum. Hatinya sudah ingin berkata jujur pada ibunya. Namun masih tertahan oleh mulut yang susah sekali berkata jujur. Ibunya keluar, tidak terlalu curiga. Alif menghela nafas lega. Besok hari minggu. Kemungkinan dia akan menghabiskan waktu liburannya di dalam kamar.
  Keesokan harinya. Alif seperti tidak bersemangat menjalani hidup. Selesai sholat subuh, dia hanya merebahkan tubuhnya di kasur. Saat ibunya menyuruh sarapan, Alif tidak menjawab, pintu kamarnya di kunci. Disitulah ibunya mulai curiga. Kalau sekedar tugas, tidak sampai mengurung diri begini. Jangan-jangan ada sesuatu yang di tutupi.
  "Lif. Buka pintunya, jangan sampai ibu dobrak, ya!!." Ibunya mengetuk pintu keras-keras. Tetap tidak ada jawaban. Sebetulnya dia mendengar panggilan ibunya. Namun dia tidak menghiraukan, entah takut menatap wajah ibunya atau malas bangun dari kasurnya.
  Dari luar kamar ibunya sudah kesal, tidak bisa dibiarkan. Ibunya mulai mendobrak pintu. Dia mendorong pintu itu dengan tubuhnya, tapi pintu itu terlalu keras, dan tenaga wanita berbeda dengan laki-laki. Ibunya tidak kehabisan ide. Dia meminta tolong pada tetangga untuk membantunya. Saat pintu ingin di dobrak, saat itu juga Alif membuka pintunya, membuat tetangga dan ibunya tersungkur. Ibunya mendengus kesal. Tetangga itu pergi begitu saja.
  "Sebenarnya kamu kenapa, Lif. Ibu suruh sarapan kamu tidak menjawab. Malah mendekam dalam kamar!!." Intonasi suara ibunya sedikit lebih kencang.
  "Aku ingin jujur, Bu. Sebenarnya aku melewati batas!." Alif menunduk, menghela nafas lega, sekaligus takut.
  "Ibu tidak paham apa yang kamu maksud. Yang jelas kalau bicara." Ibunya menatap tajam.
  "Aku kelewat batas, Bu. Aku pacaran dengan teman kuliah, sekaligus guru di tempat aku mengajar. Aku terbawa oleh cinta yang berujung nafsu. Aku tidak sanggup menahannya!!." Satu tetes air mata Alif keluar.
  "Maafkan aku, Bu. Aku tidak mendengarkan nasihat-nasihat ibu, ayah, guru-guruku. Aku terlampau jauh. Wanita itu menggodaku. Aku menghamilinya, Bu. Aku kalah dengan hawa nafsuku. Aku berdosa sekali, Bu. Maafkan aku!!." Alif menangis. Air matanya tidak mampu di bendung lagi. Dia merasa plong. Tinggal menunggu jawaban ibunya saja. Namun Alif sudah tau apa jawaban ibunya.
  Waktu mendengar ucapan Alif. Ibunya termangu sesaat. Nafasnya langsung sesak.
  "Ini kamu bukan lagi prank ibu, kan." Ibunya memastikan, dia tidak salah dengar.
  "Ini bukan lelucon, Bu." Alif menggeleng. Ibunya terdiam sejenak.
  Ibunya menghela nafas panjang. Kepalanya berpikir keras. Mereka saling diam sejenak.
  "Ibu tidak mau tau, Lif. Kamu gugurin sekarang kandungan anak dalam perut wanita itu. SEKARANG!!." Ibunya marah besar. Wajahnya merah padam. Nafasnya tersengal-sengal. Dia mulai murka.
  "Ibu tega sekali. Kenapa harus di gugurin. Anak itu pemberian Tuhan, Bu!" Intonasi suara pertengkaran mereka semakin keras. Hingga tetangga yang lewat mampir melihat sebentar lalu pergi.
  "Kalau sudah kejadian baru ingat Tuhan ya. Waktu melakukan tidak ingat Tuhan." Intonasi suaranya lebih menurun. Namun kemarahan ibunya masih memuncak. Alif terdiam mematung.
  "Kamu dengar ibu, ya. Anak itu anak haram. Kamu sudah melewati batas, Lif. Ibu sudah memperingatkan kamu. Kamu sekarang sudah berani melawan. Hebat sekali!!" Ibunya bertepuk tangan, lalu menggeleng-geleng. Lantas mengambil telepon genggam. Dia menelepon suaminya.
  Hari itu juga ayahnya izin cuti. Dia geram sekali melihat kelakuan anaknya. Sungguh diluar dugaan. Anak yang dia didik untuk menolong orang tuanya kelak. Malah berbelok arah. Berbanding terbalik. Saat itu kapal tempat ayahnya bekerja sedang berlabuh di Vietnam. Saat itu juga dia memesan tiket pesawat untuk pulang. Dia akan tiba sore hari. Kalau pesawatnya terlambat bisa malam hari.
  Ibunya mengambil kunci kamar, lalu mengunci pintu kamar Alif. Dia di larang keluar rumah dulu. Di sofa ruang tamu ibunya menangis. Kurang lebih pikirannya sama dengan yang dipikirkan suaminya. Anak yang dia banggakan, malah mengecewakan orang tua. Apa kata tetangga? Seorang anak lulusan pesantren, memiliki ilmu agama, malah melakukan hal keji. Sedangkan di kamar Alif hanya merenungi masalah yang menerpanya. Ombak begitu kencang menghantam, angin membawa luka yang begitu menyayat. Apalagi Lina terus menelponnya, meminta pertanggung jawaban.
  Malam datang membawa sunyi. Alif tertidur lelap dalam tidurnya. Dia lelah dengan isi kepalanya. Tidur adalah cara melupakan sejenak masalah. Pukul 08:00 malam, ayahnya tiba. Dia masuk tanpa mengucapkan apapun, langsung pergi ke kamar Alif. Tanpa basa basi lagi kaki Alif ditarik dari kasur, lalu diseret hingga ke ruang tamu. Ibunya histeris, namun tidak bisa membela, antara anaknya atau suaminya. Alif terbangun, sekaligus terkejut. Dia tidak bisa berontak, hanya pasrah dengan keadaan. Tanpa bicara sepatah katapun, ayahnya menampar keras wajah anaknya. Ibunya hanya bisa menonton. Alif terdiam, mematung. Dia memang salah, sudah siap diusir dari rumah.
  "Bodoh!!." Ayahnya melotot, menatap tajam. Ucapan yang singkat, tapi padat.
  Terdengar suara pintu di ketuk. Sejenak ayah dan ibunya menoleh, begitupun Alif. Ibunya membuka pintu. Seorang wanita datang, itu adalah Lina.
  "Malam, Bu." Lina menyapa.
  "Kamu siapa, ya." Ibu Alif bertanya.
  "Saya Lina. Saya ingin meminta pertanggungjawaban Alif. Saya datang membawa hasil USG. Saya sudah hubungi Alif, tapi tidak ada jawaban darinya. Saya hanya takut Alif melarikan diri, tidak mau bertanggung jawab." Ibu Alif langsung tau siapa wanita di hadapannya. Dia memasang wajah datar. Lina di persilahkan masuk.
  "Besok kami akan datang ke rumah kamu. Kami akan tanggung jawab. Sesegera mungkin kamu dan Alif menikah." Giliran ayah Alif yang berbicara. Wajahnya masih emosi. Lina sedikit takut melihatnya.
  Keesokan harinya. Ayah dan ibunya datang ke rumah Lina. Mereka sedikit membawa bingkisan. Mau bagaimanapun, keluarga Lina cepat atau lambat akan menjadi besan. Keluarga Lina sudah tau bahwa anaknya hamil. Makanya ketika keluarga Alif datang, mereka di sambut hangat, tidak terkejut. Dua keluarga itu membicarakan tentang tanggal pernikahan. Secepat mungkin mereka harus menikah, jangan sampai anak dalam kandungan Lina semakin membesar.
  "Bagaimana kalau minggu depan." Ibu Lina memberi saran. Ayah dan ibu Alif setuju-setuju saja. Terlihat Alif dan Lina hanya jadi pengikut saja. Mereka mengikuti keputusan dari orang tua masing-masing.
  Pada akhirnya. Minggu 10 maret 2030, Alif dan Lina resmi menikah. Sebulan menjalani bahtera rumah tangga, Lina baru jujur pada Alif. Sebenarnya anak dalam kandungan Lina bukan anak Alif, melainkan mantan pacar Lina. Mantan pacar Lina kabur dan tidak mau bertanggung jawab. Lina tidak ingin menguguri anak itu. Makanya dia mencari lelaki lain untuk dijadikan kambing hitam. Alif adalah ampas antara Lina dan mantan pacarnya.
  Untuk itu, pentingnya nasihat-nasihat dari orang tua dan guru. Menjadikannya sebagai pedoman hidup. Jangan sampai hasutan membawa manusia dalam palung hitam yang berisi kegelapan. Pada akhirnya. Manusia memang tempatnya salah. Namun dari kesalahan, manusia bisa berubah atau tidak. Bisa melawan hawa nafsu atau tidak. Semua balik lagi dari diri masing-masing.
"Tamat"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI