Tahun 1985, di tepian Sungai Mahakam, pabrik-pabrik kayu berdiri kokoh seperti benteng industri yang tak pernah tidur. Bangunan beratap seng dan berdinding kayu tua itu di penuhi suara mesin pemotong yang meraung sejak subuh hingga larut malam.
Truk-truk pengangkut log kayu hilir-mudik di jalanan tanah merah, meninggalkan jejak lumpur dan aroma resin yang menyengat. Di dermaga, batang-batang kayu gelondongan mengapung di atas air, menunggu giliran untuk ditarik masuk ke jalur produksi.
Di sungai, para pekerja berdiri di atas batang-batang kayu gelondongan yang mengapung di permukaan air. Mereka tampak sibuk menjalankan tugas masing-masing. ada yang mencatat jumlah rakitan kayu yang datang, ada pula yang mengarahkan kayu-kayu masuk ke anak sungai kecil menuju pabrik kayu.
Di ujung aliran, kayu-kayu itu kemudian diderek menggunakan alat pengangkat untuk diolah melalui mesin-mesin pabrik. Beberapa pekerja terlihat berendam di air sejak menjelang subuh, menarik kayu dari aliran sungai dangkal, mengatur arah masuknya ke dalam jalur produksi.
"Ayo, Jono! Dorong batang yang besar itu ke kiri, biar enggak nyangkut di batu! teriak Udin mengarahkan.
"Siap, Din! Tapi arusnya makin deras, hati-hati di ujung sana!"
Parman, sambil berendam setengah badan juga berseru:
"Yang di belakang, tahan dulu! kita atur satu-satu, jangan sampai numpuk di mulut jalur!"
Dari atas gelondongan, Bang Mandor memberi perintah:
"Rakitan dari hulu udah mulai masuk! Siapkan derek, biar langsung diangkat ke pabrik!"
"Jono, kau ambil galah panjang, bantu Kirman arahkan batang yang miring itu. Kalau enggak, bisa nyangkut di tikungan!" timpal Udin mengingatkan.
"Siap! Parman, aku bantu dari sisi kanan ya!
"Terima kasih. Kita selesaikan ini sebelum matahari terbit. Kalau lancar, bisa istirahat lebih cepat." Balas Marjono menyambut seruan itu.
Suasana para pekerja, dari menjelang matahari terbit hingga pagi kembali, menjadi denyut nadi kehidupan di pabrik kayu yang tak pernah mengenal lelah.
Di antara kabut sungai dan deru mesin yang mulai menyala, tubuh-tubuh yang basah oleh air dan peluh bergerak seperti irama yang tak putus —menyambung harapan dari malam ke pagi.
● ● ●
Pabrik kayu merupakan jantung kehidupan para pekerja dan penduduk sekitar. Di sekitar perusahaan, berdiri warung-warung makan yang melayani para buruh untuk mengisi perut setelah jam istirahat atau sepulang bekerja.
Mereka membeli makanan di sekitar area pabrik karena harganya terjangkau dan bisa dibayar secara ngebon—dicatat terlebih dahulu dan dilunasi saat menerima gaji.
Di sekitar kawasan industri pengolahan kayu, rumah-rumah petak berukuran sederhana juga banyak di bangun warga untuk di sewakan. Deretan bangunan sempit yang disulap menjadi hunian sewa bagi para buruh pabrik yang datang dari pelosok luar Kalimantan, atau mereka yang terpaksa meninggalkan rumah asal demi mendekatkan diri ketempat kerja yang jauh dan melelahkan.
Di belakang kompleks pabrik kayu, berdiri deretan rumah mess sederhana yang dibangun oleh perusahaan sebagai tempat tinggal bagi para pekerja tetap dan tenaga kantor.
Bangunan-bangunan itu sederhana, berdinding papan, dan beratap seng, namun menjadi ruang istirahat yang hangat setelah seharian bergelut dengan mesin dan serbuk kayu.
Setiap pagi dan sore, sopir taksi yang mangkal di sekitar pabrik kayu sudah hafal rute dan wajah-wajah—ada yang baru berangkat kerja dengan mata masih setengah mengantuk, ada pula yang pulang dengan wajah lelah tapi lega.
Di kampung tempat pabrik kayu berdiri, bus antar-jemput khusus disediakan untuk karyawan yang tinggal satu lokasi, jadi mereka cukup berdiri di pinggir jalan dengan kaos seragam perusahaan sebagai penanda, menunggu giliran naik.
Suasananya akrab, kadang diselingi obrolan ringan atau saling sapa antar karyawan yang sudah terbiasa berbagi waktu dan kendaraan. Sopir taksi pun bukan sekadar pengantar, tapi bagian dari ritme harian yang membuat roda ekonomi keluarga mereka tetap berputar.
● ● ●
Di pabrik kayu itu, jumlah pekerja perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki, jadi nggak heran kalau suasananya kadang mirip sekolah atau kampus—ramai, penuh cerita, dan sesekali ada yang saling jatuh hati. Dari obrolan ringan di ruang makan sampai saling bantu di area produksi, benih-benih cinta (lokasi) pabrik tumbuh begitu saja, kadang manis, kadang rumit.
Buat yang masih lajang, mungkin itu hal biasa, tapi nggak sedikit juga yang sudah berkeluarga dan akhirnya terjebak dalam hubungan yang nggak seharusnya. Semua berjalan diam-diam, dibungkus seragam kerja dan senyum yang kelihatan biasa, padahal di baliknya ada cerita yang nggak semua orang tahu.
Di sela istirahat siang,suasana di sudut ruang makan pabrik terasa santai, penuh tawa kecil dan obrolan ringan.
"Eh, si Pak Satpam itu titip salam ke Niryati, lho," bisik Rina sambil menyenggol lengan temannya.
"Serius? yang jaga gerbang depan itu?" sahut Wati, setengah tertawa.
"Iya, katanya tiap Niryati lewat, dia langsung berdiri tegak, senyum-senyum sendiri. Padahal Niryati mah cuek aja, senyumnya tuh bikin cowok-cowok disini salah tingkah,"tambah Rina sambil menyeruput teh manisnya.
"Pantesan, kemaren dia nitip salam lewat bagian gudang. Romantis tapi malu-malu,"celetuk Sari, membuat yang lain ikut terkekeh.
Di tengah obrolan itu, Niryati hanya duduk tenang di pojok, membuka bekal sambil sesekali tersenyum kecil—senyum yang, entah kenapa, bikin suasana jadi sedikit lebih hangat.
Tiba-tiba, suara sirene panjang terdengar dari arah pabrik—tanda istirahat sudah selesai. Obrolan pun langsung terputus, gelas teh ditinggal setengah isi, dan beberapa karyawan buru-buru merapikan bekal.
"Waduh, udah bunyi tuh... lanjut nanti aja ya gosipnya," kata Rina sambil berdiri dan merapikan rambutnya.
"Iya, si Niryati belum sempat jawab tuh soal salam Pak Satpam," celetuk Wati sambil tertawa kecil.
"Besok kita lanjut, sekarang balik ke mesin dulu," sahut Sari sambil mengangkat tas kecilnya.
Mereka beranjak satu per satu, berjalan menuju area kerja dengan langkah yang sudah terbiasa—meski obrolan belum selesai, kerja tetap jalan dulu. (*)
Samarinda, 14 September 2025
Riduannor
Disclaimer:
Cerpen ini sepenuhnya fiktif. Nama tokoh, tempat, dan kejadian hanyalah hasil imajinasi penulis. Jika ada kesamaan dengan kejadian nyata, itu semata kebetulan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI