Tentunya ini bisa menjadi hal positif maupun negatif bagi penggunanya, terkhusus kalangan remaja. Terlebih lagi, ruang media sosial tidak memiliki batasan tertentu. Semua informasi dapat tersajikan di media sosial. Tak hanya informasi bersifat positif, informasi negatif juga ada. Mulai dari konten yang bersifat pornografi, kekerasan, kejahatan, flexing atau berita bencana yang dapat menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan. Menurut psikolog Lathifah Utami, konten negatif yang dilihat di media sosial juga dapat berdampak pada psikologis seseorang.
Adapun yang terjadi beberapa tahun kebelakang seperti fenomena FOMO (Fear Of Missing Out) yang menimpa masyarakat kita. Ketika ada trend yang muncul di media sosial, semua orang berlomba- lomba untuk mencapai hal tersebut. Tidak peduli bagaimana pun caranya, yang terpenting di dalam pikirannya ia bisa seperti yang lainnya. Meskipun cara yang dilakukan sampai terseret oleh pinjaman online sekali pun, seperti berita yang dilansir (liputan6.com, 12/06/2024), dengan Judul "Gara- gara YOLO dan FOMO, Gen Z dan Milenial Rentan Terjerat Pinjol".
Peristiwa di atas bisa terjadi karena adanya pengaruh sosial yang di munculkan melalui media sosial. Ini ditandai dengan adanya bentuk pengakuan dari orang lain, bahwa dirinya sebagai generasi milenial atau generasi Z harus bisa mengikuti perkembangan fashion atau berpenampilan modis. Sehingga dampak yang terjadi adalah setiap kali keluar fashion model terbaru, generasi milenial atau generasi z akan berupaya untuk membelinya, kemudian memperlihatkan kepada teman- temannya melalui media sosial untuk mempertahankan pengakuan ini. Hal ini juga diperkuat oleh pandangan Herbert C. Kelman (1958) yang menyatakan bahwa perubahan sikap yang terjadi akibat pengaruh sosial akan berada pada level yang berbeda tergantung pada bagaimana proses penerimaan individu terhadap pesan tersebut.
Tak hanya itu, media sosial juga bisa menjadi ruang yang tidak aman bagi para perempuan yang tidak hati- hati dan tidak waspada. Banyaknya predator seksual yang bersembunyi dibalik media sosial. Mereka memperdaya dengan menggunakan media sosial sebagai alat komunikasi untuk menipu calon korban. Memberikan iming- iming dan sebagainya, seperti halnya yang terjadi di Solo, yang mana korban mengenal pelaku dari media sosial seperti tik tok, hingga akhirnya berujung pada whattsapp. (Kompas, 12/03/2025). Yang sangat disayangkan ternyata korban masih berusia 16 tahun, dan pelaku berusia 20 tahun.
Ini sangat miris. Fenomena di atas, bisa terjadi oleh siapa pun. Bahkan jika tidak diantisipasi sejak dini, bisa terus bertambah kasusnya. Salah satunya dengan mengedukasi dan membatasi diri dari konten- konten yang berbau pornografi. Tidak bisa dipungkiri, bahwa konten- konten pornografi yang ada di media sosial bisa membahayakan, bahkan bisa memicu terjadinya kejahatan seksual pada anak. Ini bukan soal anak- anak yang berkesinambungan melihat konten pornografi saja, melainkan anak yang terkena paparan virus pornografi (yang melihat secara tidak sengaja di media sosial) juga bisa terpicu oleh kejahatan seksual, seperti: pelecehan seksual, pemerkosaan, eksploitasi seksual dan kekerasan pada anak di bawah umur, baik anak sebagai korban atau pun anak sebagai pelaku.
Dan perlu dipahami, bahwa konten- konten pornografi dapat memicu bekerjanya hormon dopamine yang menjadikannya candu, sehingga anak akan terpacu untuk mengikuti apa yang sudah ia lihat demi kepuasannya. Dari sini lah seorang anak bisa menjadi pelaku kejahatan seksual atau pun menjadi korban kejahatan seksual. Beberapa kasus ini, mengajarkan kita tentang bagaimana media sosial dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang.
Pada prosesnya, pembentukan karakter tidak secara tiba- tiba hadir bersamaan dengan lahirnya seseorang, melainkan terbentuk oleh beberapa factor, antara lain lingkungan, keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar. Menurut Lickona, pembentukan karakter seseorang akan terbentuk karena suatu kebiasaan- kebiasaan yang bertahan dari kecil hingga remaja. Bahkan ada pernyataan yang menarik dari Prof. Dr. Fendy Suhariadi, Drs., M.T, bahwa Pembentukan karakter pada remaja dipengaruhi tidak signifikan oleh pengasuhan orang tua. Pembentukan karakter remaja di pengaruhi oleh sumber- sumber sosial. Lingkungan, pergaulan, lingkungan sekolah dan masyarakat membentuk karakter remaja.
Dengan demikian, menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi, berekspresi, dan mendapatkan informasi positif adalah langkah yang bijak. Membatasi diri dari konten- konten yang tidak berkualitas, seperti: pornografi, ujaran kebencian, intoleransi atau bahkan perbandingan sosial adalah bentuk langkah menjadi pribadi yang baik. Karena pembentukan karakter seseorang akan terbentuk karena suatu kebiasaan- kebiasaan yang bertahan dari kecil hingga remaja. Dan terbentuknya karakter yang baik dimulai dari membiasakan dirinya mengelola informasi yang baik untuk dijadikan asupan dan nutrisi pikirannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI