"Kursi ini punya sejarah," gumam Maurice.
Anggun mengangguk.
"Nenekku merajut di dalamnya. Dan ayahku tidur di dalamnya setelah minum terlalu banyak brem."
Anggun menatapnya, dan ada sesuatu dalam senyumnya yang terasa sedih sekaligus indah.
Mereka mulai mengecat langit-langit. Maurice menyeimbangkan diri di tangga sementara Anggun berdiri di bawah, menyerahkan semangkuk cat kepadanya. Suatu ketika, cat menetes ke hidungnya, dan mereka tertawa terbahak-bahak hingga Maurice hampir kehilangan keseimbangan. Tawa itu terasa membebaskan---tidak keras, tetapi tulus.
Kemudian, saat mereka duduk berdampingan di lantai, dindingnya baru dicat dan tangan mereka basah oleh cipratan cat, Maurice menyodorkan minuman kaleng dingin.
"Kamu tahu," katanya, "terkadang aku berpikir tempat-tempat seperti ini sedang menunggu. Menunggu saat yang tepat untuk bernapas kembali."
Anggun menatapnya lama. "Atau untuk orang yang tepat."
Malam itu, mereka berlama-lama di beranda. Langit berubah warna menjadi pastel, dan suara ombak terdengar semakin dekat, meskipun laut sebenarnya jauh.
Anggun membawa selimut tua, dan mereka berdua membungkus diri di dalamnya. Bahu mereka bersentuhan ringan. Namun, tak satu pun berkata apa-apa.
***