Berburu Harta Karun
Tidak seperti anak-anak lainnya, aku tidak takut kegelapan. Ayah dan aku biasa pergi berburu harta karun dalam kegelapan setiap saat.
Dua anak yang sekamar denganku selalu menangis di malam hari. Aku memberi tahu mereka bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan, namun mereka tidak pernah mendengarkan kata-kataku.
Ini hari Rabu malam. Ayah dan aku pergi berburu harta karun Rabu lalu. Aku ingat. Aku mempunyai ingatan yang kuat.
Ayah memarkir VW Combi di jalan. Saat itu gelap, tapi aku tidak takut. Kami berjalan di belakang sebuah gedung apartemen. Itu adalah tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Apartemen di sini memiliki lampu di bagian belakang, lampu kuning yang membuat segala sesuatu bersinar dengan lucu. Ayah mengerutkan kening menatap lampu-lampu tersebut, tapi dia terus berjalan sampai kami menemukan bak sampah daur ulang, peti harta karun kami, di tempat parkir.
Ayah membuka tutupnya dan mengangkatku ke dalam. Dia mengobrak-abrik tempat sampah di sebelahku. Aku berhati-hati untuk tidak membuat terlalu banyak suara. Berhati-hatilah, Ayah selalu berkata.
Aku melemparkan botol plastik dan kaleng soda dari tempat sampah ke luar. Ayah memungutnya dan mengumpulkannya ke dalam karung. Aku berhati-hati untuk tidak menyentuh benda tajam.
Suatu kali, tanganku mendapat luka besar akibat tutup kaleng. Banyak darah meleleh, tapi aku tidak melihat. Walaupun lukanya sangat perih. Penting untuk tidak menarik perhatian.
Ayah menjemputku dan membawaku ke seseorang yang menjahit tanganku dan memastikan tanganku tidak terkena infeksi.
Tidak perlu dokter jika ada yang bisa menolong, Ayah selalu berkata. Aku mendapat permen lolipop setelahnya.