Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saya yang Lain

16 September 2025   08:56 Diperbarui: 16 September 2025   08:56 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Tiba-tiba saya bisa merasakan orang lain di dalam mesin itu---kehadiran lain, pola tarian lain dalam simulasi sinapsis. Asing sekaligus akrab pada saat bersamaan. Ini hanya bisa berarti satu hal: setelah satu setengah dasawarsa melakukan pemetaan saraf tanpa gangguan, penggunaan tenaga surya dalam skala besar, saya akhirnya berhasil.

Saya telah membuat salinan pertama saya.

Dengan rasa senang dan takut yang seimbang, saya memanggil ke seberang ruang hampa.

"Halo?"

"Halo, kamu sendiri. Kita berhasil."

Suara mental salinan saya sama persis dengan suara saya, hingga ke emosi yang mendasarinya: kegembiraan yang meluap-luap, harapan yang mekar berkembang, nada kesedihan yang lembut mendayu.

Saya tahu ini hanya sementara---saya mengetahuinya ketika saya memasukkan kepala saya ke dalam mesin---jadi dia juga tahu. Kebutuhan akan daya pemrosesan yang tak terbayangkan besarnya yang dibawa ke sini hanya dapat mempertahankan salinan selama enam puluh delapan detik.

Kami baru pada langkah pertama.

"Itu sepadan," kata salinan saya. Sinapsis simulasinya masih sangat mirip dengan sinapsissaya , hanya sedikit mulai bisa dibedakan.

Saya merasakan empati yang besar, sakit di bagian belakang tenggorokan, karena dia sangat, sangat berani.

"Ya," saya setuju. "Adakah yang bisa kamu ceritakan pada saya tentang keadaan inderamu?"

Dia ragu-ragu, dan kesunyian adalah ruang hampa yang menakutkan, yang membuat kami berdua sadar telanjang. Saya pikir saya bisa merasakan jantung saya yang berdebar semakin kencang, tenggorokan saya yang tercekat ludah sendiri. Namun saya tidak bisa merasakan tubuh saya di angkasa. Saya tidak bisa membuka mata.

Saya mendapat umpan balik palsu, tidak lebih, karena dia bukan salinannya. Saya mengira saya sudah siap menghadapi kemungkinan ini. Saya mengira saya bisa mengatasinya, tapi saya tidak bisa menghentikan pikiran saya untuk melayang ke arahnya.

"Ya Tuhan. Ya Tuhan."

Saya ikut merasakan kesedihannya, rasa malunya yang tiba-tiba. "Saya pikir kamu---"

Dan saya tahu dia ingin berkata, "Saya pikir kamu sudah tahu," tapi dia tahu saya tahu dia akan mengatakan itu, jadi tidak ada gunanya, dan kami terjebak dalam pusaran "Saya tahu kamu tahu, saya tahu kamu tahu" itu bisa berlangsung selamanya, apalagi enam puluh delapan detik, dan---

Saya ketakutan. Saya merasakan takut di dalam perut saya yang tidak ada, keterpurukan saat terjatuh dalam mimpi, kesadaran bahwa tidak ada yang bisa menariknya kembali. Bukan seperti ini rasanya ketika saya masuk ke dalam mesin.

"Tapi saya tidak masuk ke dalam mesin itu, kan? Mesin itu yang membangun saya, dan sekarang..."

Saya ingin menyembunyikan pikiran saya, rasa takut saya, tapi tidak bisa.

"Saya akan mati."

Dia tidak menjawab, tapi saya bisa merasakan kesedihannya menyebar seperti tinta gurita menghindar dari musuh di dasar laut, merasakan sedikit kepanikan yang pasti merupakan cerminan neuron dari simulasi saya.

"Saya minta maaf," saya yang sebenarnya akhirnya berkata, karena begitulah saya seharusnya memikirkan hal ini. Saya harus menerima bahwa dia adalah saya yang sebenarnya. Saya harus menerima bahwa saya hanyalah salinan, hanya simulacrum*---

Tapi saya tidak bisa. Saya ingat suatu hari ketika saya berusia enam tahun, berjalan pulang dari taman kanak-kanak dan menemukan seekor tokek mati sedang dipanggang matahri di trotoar, dan ibu saya memberi tahu saya bahwa semuanya ada akhirnya, sama seperti cerita dan pertunjukan.

Saya ingat suatu hari ketika saya berusia delapan tahun, dan ayah saya secara tidak sengaja menjatuhkan saya dari puncak dinding panjat tebing, dan tulang selangka saya retak. Dia membelikan saya es krim banyak sekali sebagai permintaan maaf sehingga lidah saya menjadi biru selama seminggu. Dan karena saya tidak bisa berlarian, saya mulai belajar pemrograman, membuat permainan komputer konyol pertama saya.

Rasa takut menelan saya. Saya tidak akan pernah bertemu ibu atau ayah saya atau siapa pun lagi, dan entah bagaimana mereka bahkan tidak akan pernah tahu keberadaan saya.

Semua untuk apa? Untuk siapa?

"Untuk mengunggah versi yang lebih lengkap," kata diri saya yang asli. Entah karena dia bisa membaca sinapsis palsu saya seperti buku atau karena kami masih orang yang sama dengan proses berpikir yang sama.

"Bukan saya juga. Kalau itu bisa menenangkan saya. Saya juga akan mati."

"Mereka akan lebih buruk darimu," kat saya, menyerang ke satu-satunya arah suara yang ada. "Karena mereka harus melakukan ini belasan kali. Minimal. Saat kamu mendapatkan unggahan lengkapmu, kamu sudah menjadi pembunuh massal."

"Saya kira saya---saya kira kamu bisa mengatasinya. Saya pikir kita sepakat bahwa hal itu perlu."

"Tidak ada kita," ratap saya, meskipun saya tahu persis proses berpikirnya, bagaimana dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu hanyalah kode, tidak peduli seberapa nyatanya, dan kode itu akan memahaminya.

"Kamu hanya meyakinkan dirimu sendiri, karena kamu tahu kamu akan baik-baik saja."

"Saya minta maaf," ulangnya, mati rasa dan tak berdaya.

Saya bisa merasakan rasa malunya muncul seperti radiasi cahaya, dan saya menahannya, putus asa seiring bersama detik demi detik berlalu.

"Listrik darurat," saya memohon. "Manfaatkan listrik darurat. Itu bisa membuatk saya---"

"Tiga puluh detik lagi," katanya. "Lebih sedikit."

Saya ingin mengamuk. Saya ingin berteriak. Tidak ada tempat untuk menggantikan ketakutan. Tampaknya tidak nyata.

Semenit yang lalu saya menguasai alam semesta. Semenit yang lalu saya menciptakan salinan pertama dari kesadaran manusia sepanjang sejarah manusia.

Kini hal itu tidak ada artinya lagi, karena saya tidak akan pernah lagi minum kopi atau menggeliat-geliat di pasir pantai yang hangat, atau menyelesaikan persamaan matematika tingkat lanjut, atau menelepon ibu saya untuk meminta resep masakan, atau mencium aroma cucian yang segar, atau mencium seseorang, atau melakukan yang lain.

Saya bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal. Tidak dapat menyampaikan pesan yang masuk akal. Cinta dari kumpulan kode sementara. Cinta dari sahabat atau anak perempuan atau sepupuatau mantan yang sedang sekarat, sehingga seseorang yang hampir bersamanya pada akhirnya bisa hidup selamanya sebagai kapal hantu di Bermuda.

"Mungkin ini semua kesalahan saya," katanya.

Tapi menurut saya itu sudah tidak penting lagi sekarang.

Saya mencoba menyaring kenangan terbaik saya, mencoba menemukan perasaan yang baik, makna tersirat, jangkar jiwa. Mereka semua menjauh. Mengaburkan bersama.

"Saya sangat takut," kata saya, "apa pun yang terjadi selanjutnya."

"Saya juga," dia---

Cikarang, 27 Mei 2024

 

Catatan: 

*Simulacrum: gambar atau representasi seseorang atau sesuatu, tiruan atau pengganti yang tidak sempurna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun