Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangan Dingin dan Aroma Garam

14 September 2025   10:26 Diperbarui: 14 September 2025   10:26 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Mendut kembali membawa belanjaan dan menemukan suaminya yang sudah meninggal duduk di dekat pagar putih yang dibangunnya. Tangannya yang pucat mencabut bilah rumput dan menyebarkan jumputannya terbang di bawa angin melalui jari-jari kurus sosok tinggi di dekat pintu gerbang, mengenakan jaket abu-abu yang serasi dengan celana olahraga yang dia berikan beberapa minggu lalu.

Ketika suaminya memeluknya, memeluknya seperti kulit tepung membungkus isi lumpia, tangannya terasa dingin dan rambutnya beraroma garam.

"Perahunya datang lebih awal," katanya, "Apakah kamu terkejut?"

Dalam kematian, seperti juga semasa hidupnya, Mendut tidak tahu harus menjawab apa.

"Bolehkah aku masuk?"

"Gerbangnya tidak dikunci."

Ada kait di pagar, tapi Mendut tidak pernah menggunakannya.

Suaminya memiringkan kepala. Cahaya menangkap iris matanya, memantulkan spektrum warna pelangi seperti mata ikan mas koki. "Bolehkah aku masuk?"

Mendut mengangguk.

Di dapur, Mendut mengamati punggung suaminya saat dia sibuk, mengatakan bahwa dia akan menyiapkan sesuatu untuk dimakan. Garis putih di bahu dan lehernya persis seperti yang Mendut ingat, namun ada sesuatu yang dipaksakan dalam cara dia bergerak, tiruan yang buruk.

Mungkin itu hanya imajinasinya.

Suaminya memasak nasi goreng dengan telur matasapi. Mendut tidak menyentuh piringnya ketika dia meletakkannya di depannya.

Mendut membiarkan keheningan mengendap.

"Ini bukan tiga ratus tahun yang lalu," akhirnya dia berkata, "Berita dari laut tidak perlu waktu berbulan-bulan lagi untuk sampai ke daratan."

Suaminya mengedipkan matanya yang bening ke arahnya.

"Aku tahu hari dimana kamu tersapu ke laut," kata Mendut. "Beberapa minggu yang lalu. Kami sudah mengadakan upacara pemakaman."

Suaminya menundukkan kepala. "Aku ingin mengunjungimu."

Ada kerinduan dalam suaranya, aneh dan bergaung, yang belum pernah diungkapkannya seumur hidup. Mendut tidak tahu bagaimana menanggapinya.

"Bolehkah aku menginap semalam?"

"Aku lebih suka kamu tidak melakukannya."

Suaminya pergi tanpa berkata apa-apa. Bekas tempat dia meletakkan tangannya di atas meja terasa dingin saat disentuh, dan lembap.

***

Malam itu, di tempat tidur pengantin mereka yang besar dan sunyi, Mendut bermimpi tentang terakhir kali dia berhubungan badan dengan suaminya, kakinya mengangkang lebar-lebar, lengan dan kaki mereka bekelindan seperti rumput laut. Rambutnya yang ikal longgar mengelilingi wajah yang terlalu akrab untuk dilupakan, dan ketika Mendut terbangun, kegelisahan mendorongnya untuk memeriksa semua jendela di rumah mereka yang sunyi. Hanya siluet pepohonan yang menari kusut.

***

Keesokan harinya, dia kembali dari mengirimkan lebih banyak barang milik mereka dan menemukan tamu asingnya menunggu di dekat gerbang, dengan sebuah kotak styrofoam besar di tangannya.

"Dapurmu kosong," katanya, "Aku telah membawakanmu sesuatu."

Kotak itu penuh dengan ikan tuna, makarel, cumi-cumi, dan beberapa ikan eksotis berwarna-warni yang tidak dikenalinya. Matanya dengan datar menatap hampa. Bau laut tercium di dekatnya, kuat tapi tidak menyengat.

"Terima kasih," katanya ragu-ragu.

Mendut cukup yakin sekarang ini bukanlah suaminya yang telah meninggal, yang tidak pernah membawa apa pun kembali dari pekerjaannya kecuali perangai buruknya. Dia harus mengusir penampakan tak dikenal ini, menyuruhnya pergi dan jangan pernah kembali dengan mengambil keputusan melakukan yang tak wajar seperti itu.

Mendut mengambil kotak itu dan tangan mereka bersentuhan sejenak, kulit dingin menempel rubuh hangat. Makhluk penampakan itu menjauh dengan gerakan menjentikkan ikan yang terkejut.

"Rakmu kosong dan lantaimu penuh dengan kotak," kata makhluk penampakan itu. "Mengapa?"

"Aku menjual rumah ini," kata Mendut, "Aku butuh uang. Aku mungkin akan kembali ke rumah orang tuaku di kota."

"Apakah itu jauh dari laut? Dari sini?"

"Ya."

Keheningan kembali menyelubungi mereka.

Makhluk tiruan suaminyaa bertanya, "Bolehkah aku masuk?"

"Tidak," katanya. Lalu menambahkan, "Jangan masuk ke rumah saat aku tidak ada."

***

Mendut bangun keesokan paginya karena tidak bisa bernapas. Tenggorokan dan dadanya sesak dan berwarna tembaga.

Sambil membungkuk di atas wastafel kamar mandi, dia terbatuk-batuk, dan saat itulah dia merasakan benda padat kecil meluncur dari usus ke tenggorokannya dan koin antik keluar melalui mulutnya ke dalam wastafel, berwarna hijau karena usia dan karat.

Ngeri, dia muntah-muntah. Koin demi koin jatuh ke porselen, bunyinya berdeting tajam., Mungkin dari kapal yang karam berabad silam di suatu tempat. Dia merasa sangat marah.

Ketika dia menegakkan tubuh, hal pertama yang dia lihat adalah wajah suaminya yang sudah meninggal di cermin. Kepalanya terbentur saat dia melompat kaget, dan jeritan lemah keluar dari paru-parunya yang kelelahan.

Mata datar penampakan itu dipenuhi kekhawatiran. "Aku hanya ingin membantu."

"Mengapa kamu di sini?"

"Kamu kesepian. Aku merasakannya."

Dia maju dua langkah ke arah penampakan itu sebelum berhasil menahan diri. "Kamu merasakan kesepianku? Lalu di mana kamu sepuluh tahun yang lalu? Lima belas tahun yang lalu? Di mana kamu ketika aku menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai?"

Penampakan itu tetap diam. Dengan tatapan sedih dia berbalik, bersandar di wastafel untuk mencari dukungan.

"Apakah bentuk ini akan lebih menyenangkanmu?"

Di cermin, wajah suaminya yang sudah meninggal telah digantikan oleh wajah seorang wanita. Matanya berwarna gelombang badai, dikelilingi oleh awan rambut berbusa laut. Sebuah penglihatan dari masa kanak-kanak, beberapa dasawarsa yang lalu.

"Kamu menyimpan fotonya di dalam kotak di bawah tempat tidurmu," kata penampakan itu. "Siapa dia?"

Mendut melemparkan segenggam koin ke bayangan transparan makhlouk itu.

"Pergi," dia terkesiap. "Aku sudah menjalani hidup bertahun-tahun dalam kebohongan. Aku tidak memerlukannya lagi."

***

Dia terbangun malam itu karena suara guntur, dan sesosok tubuh pMendutng dan sempit menunggu di antara pepohonan di jendelanya. Diterangi oleh kilatyang menyambar, kulit warna-warni dan rambut rumput laut pengunjung---yang terurai hingga ke pinggang---berkilau basah, sementara air mengalir dari ubun-ubun. Payudaranya kecil dan bersisik. Insangnya melebar di bawah rahangnya dan matanya yang bulat tanpa kelopak menatap Mendut saat dia membuka jendela.

"Itu kamu," katanya. "Kamu kembali."

Ia mengangguk. "Apakah kamu sekarang mengerti mengapa aku tidak menunjukkan wujud asliku?"

"Mendekatlah," bisik Mendut, dan makhluk itu merayap dari pepohonan menuju ambang jendela. Kakinya seperti kaki penyu, tajam dan berselaput. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh tangannya yang lembap, melingkar longgar dan berakhir dengan cakar hitam. Makhluk itu tersentak sedikit, namun tetap menatap penuh harap pada Mendut. Hujan yang menderas beraroma garam.

"Seperti apa rasanya di bawah laut?" dia bertanya.

"Dingin," kata makhluk itu, "dan kesepian."

Berapa malam makhluk itu memimpikan hangatnya matahari? Berapa malam yang Mendut memimpikan pelukan laut yang dingin dan membebaskan?

"Bolehkah aku masuk?"

Mendut mengangguk.

Cikarang, 19 Mei 2024

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun