Dia menggelengkan kepalanya. "Selalu ada satu."
Lalu sepertinya dia merasa tidak enak karena dia menepuk pundak saya. "Kau sudah melakukan yang terbaik," katanya sambil berjalan ke ruang belakang.
Jujur saja, saya menganggapnya sebagai orang gunung yang gila pada saat itu. Tapi ketika naga itu datang, saya harus menelan ludah saya sendiri.
Bukan naga yang sangat besar, mungkin seukuran anak sapi. Saya menemukannya di hutan belakang, tergeletak di tempat yang terkena sinar matahari. Tanah di sekitarnya berwarna hitam karena abu. Tentu saya langsung pergi ke desa untuk memberitahu Kakek Kondolangit apa yang  saya lihat.
"Cacyng," katanya sambil menghela napas. "Tak salah lagi."
"Jadi, apa yang harus saya lakukan? Kelihatannya tidak seburuk itu."
"Dia akan membakar separuh wilayah pedesaan jika dibiarkan hidup. Kau harus memberinya makan, menjaganya tetap nyaman," katanya. Matanya yang suram terangkat untuk menatap mataku. "Perawan."
"Jangan..." Raut wajahnya yang keriput memotong protes saya. "Perawan?"
Dia mengangguk. "Perawan. Kau bisa mendapatkannya di Sekolah Katolik di kota Boboho."
Saya tidak bisa menahan tawa.
"Saya tidak menculik gadis-gadis untuk diberikan kepada naga, itu menggelikan."