Tetap saja, saya tidak menggunakan semprotan itu. Tidak pada awalnya. Namun sarang-sarang itu terus bertambah besar dan saya dapat melihat ulat-ulat berduri merayap di dalamnya. Kini sarang-sarang itu sama gemuknya dengan paha saya dan sama sekali tidak lucu, tidak seperti kepompong kecil berbulu halus yang kadang-kadang saya temukan di tomat-tomat saya.
Pada akhir pekan, saya mulai mengkhawatirkan pohon cemara.
"Apa yang harus  saya lakukan dengan semprotan itu, Tete? Apa saya langsung menyemprotkannya ke itu sarang?"
"Jangan terlalu dekat, mereka menyengat."
"Ulatnya? Tete bercanda?"
"Cacyng," katanya.
"Tidak, Tete, saya yakin itu ulat. Mereka beruas-ruas dan punya kaki dan..."
"Cacyng, bukan cacing. Dengan 'y.'" Dia terus memperhatikan daftar belanjaan, mencocokkan harga.
Mulut saya membuka dan menutup lagi dan akhirnya saya berhasil bertanya, "Naga legenda Cacyng zaman baheula dari Gunung Krakatua? Di pohon-pohon saya?"
"Tunggu saja sampai menetas." Wajahnya yang lapuk dan retak-retak tampak menantang saat dia menyerahkan totebag berisi barang belanjaan pada saya.
"Saya akan menyemprotnya," kata saya.