"Berbaurlah."
Ibu menunjuk pada seorang anak laki-laki yang memegang segelas minuman dan sepotong daging yang menetes. "Ajak dia berdansa."
Aku belum mandi selama sepuluh hari. Kulit kepalaku sudah menjadi peternakan berbagai bakteri, tetapi apa yang ada di meja makanan: potongan ayam, kue kecil yang diolesi saus misterius, dan bola mata, sudah dihidangkan di sana selama dua hari. Bauku tidak ada apa-apanya dibandingkan aroma hidangan.
"Kinan, kita sudah berlatih ini." Ibu merapikan gumpalan rambutnya yang kusut. Poninya yang mulai memutih masih berlumuran darah dari makanan semalam yang kami ambil di jalur drive-thru di Fresh Butcher, Kemang.
"Ingatlah bahwa semua orang melihat. Tidak boleh ada kesalahan."
Nada suaranya lembut, tapi yang dia maksud adalah sekarang atau tidak sama sekali. Satu kesempatan untuk meyakinkan teman sekelas baruku.
Lampu redup. Bola disko berkedip-kedip menjadi hidup, lalu meledak menjadi nyala api berwarna ungu, hijau, magenta. Di sampingku, seorang gadis menari dengan terseok-tersok. Tidak ada yang akan menyuruhnya pergi. Dengan tulang selangkanya yang menonjol dan pipinya yang berubah warna, dia adalah gadis tercantik di ruangan itu.
"Pergilah mencari teman." Ibu menunjuk pada seorang anak laki-laki yang memegang segelas minuman dan sepotong daging yang masih meneteskan darah. "Ajak dia berdansa."
Darah menggenang di balik bibir bawahku. Lidahku masuk ke dalam lubang gusiku akibat gigi seri yang dicabut Ibu pagi ini.
"Apakah aku terlihat baik-baik saja?"