Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mamabot Tidak Bahagia

28 Juli 2025   07:07 Diperbarui: 28 Juli 2025   01:52 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Mamabot kami tidak senang.

"Robot tidak bisa bahagia," kata Nur. Dia bodoh, karena umurnya baru delapan tahun.

"Bisa, kok," kataku padanya. "Kita tertawa ketika kita bahagia dan Mamabot bisa tertawa."

Nur mengangkat hidungnya, seperti sedang mencoba memainkan game pesawat dengan lensa kontaknya, tapi ternyata tidak.

"Mamabot," katanya. "Tertawa."

"Ho-ho-ho," kata mamabot kami.

Itu bukan tawa sungguhan. Kedengarannya seperti Sinterklas di mall, dan aku tahu Mamabot tidak senang. Maksud Mamabot hanyalah membuat seseorang tertawa ketika sedang tidak bahagia.

Nur bodoh.

***

Aku suka mamabot kami. Bentuknya besar dan berwarna merah seperti kaleng Coca-Cola. Dia punya empat kaki sehingga tidak terjatuh saat kami bermain di halaman. Kadang-kadang ia meninggalkan jejak, lubang-lubang kecil yang rumputnya rata, seperti gajah sungguhan, dan aku harus mencarinya. Aku suka kalau Mamabot bermain denganku. Tidak ada orang lain yang bisa kuajak bermain.

"Jangan khawatir," kataku. "Yah, itu akan membuatmu lebih baik." Dan kemudian aku memeluknya.

Mamabot balas memelukku dengan dan lengannya yang halus, padat, dan dingin.

***

"Papa," kataku, "Mamabot tidak bahagia."

Kami makan kentang goreng keriting dan stik domba. Meja makan penuh dengan remah-remah kuning. Aku menghancurkannya dengan ibu jariku. Papa terus membaca lensa kontaknya. Titik-titik kecil berwarna hijau terus bergulir di matanya.

"Papa!" kataku.

"Biarkan saja, memang seperti itu," kata Papa.

"Mungkin ada error di perangkat lunak," kata Mama. "Aku akan menjadwalkan update untuknya."

"Mama!" Aku hampir berteriak, lalu teringat bahwa Mama benci anak yang berteriak. "Ma," kataku. Semuanya mendengarkan. "Aku ingin bermain dengan mamabot kita apa adanya. Jangan di-update."

Mama mengangkat bahu dan lanjut menggulir lensa kontaknya. Surat-surat itu terus berkedip di matanya dan dia sepertinya tidak ada di sini.

"Kita akan membeli model terbaru," kata Mama.

Aku menutup mulutku dengan tangan. Mama akan membunuh Mamabot.

Aku memeluk lengan Mamabot erat erat.

***

Gelap. Seharusnya aku tidur, tapi tetapi tak bisa. Air mata hangat mengalir dari mataku, mengalir ke tempurung dada Mamabot.

"Tenang, Nak," kata Mamabot sambil menepuk punggungku.

Mamabot akan didaur ulang. Aku telah membunuh Mamabot.

Fajar datang dan lampu di kamarku dan Nur menjadi terang. Warnanya mulai gelap, lalu merah, seperti kulit Mamabot, lalu merah muda, dan kemudian tidak bisa melihatnya karena semuanya memiliki warna tersendiri. Saat itulah waktunya bangun dan sarapan.

Layar jendela terbuka dan logo Coca Cola di atap gedung sebelah menyinari kamar kami. Mamabot menyuruh kita turun. Nur pergi setelah Mamabot menjanjikannya Coca Coklat dan permainan baru untuk lensa kontaknya, tapi aku tetap tinggal.

"Mamabot," kataku, "apakah kamu bahagia?"

"Aku selalu senang untukmu," kata Mamabot.

Aku berpikir.

"Apakah kamu tidak senang dengan Nur?"

"Aku senang dengan kalian berdua," kata Mamabot, tapi dia tidak tertawa.

Itu buruk. Kalau Mamabot tidak tertawa, Mama akan membunuhnya.

***

"Kamu benar," kata Papa saat sarapan. "Sikap robot telah berubah akhir-akhir ini."

"Mungkin virus," kata Mama. Dia mengunyah roti keju yang dibuat oleh Mamabot. Jari-jarinya melambai di udara menelusuri data di lensa kontaknya, membuat matanya menyala-nyala.

"Serangan hacker besar-besaran minggu lalu," katanya. "Model kita tidak terpengaruh, tapi mereka tidak pernah jujur di berita."

"Lebih baik bawa tukar tambah," kata Papa. "Bot itu sudah semakin tua."

Mereka akan membunuh Mamabot kita.

***

"Mamabot," kataku.

Pintunya terkunci. Layar jendela mati. Nur sedang pergi ke ruang belajar. Ayah dan Ibu sedang bekerja. Kami sendirian, Mamabot dan aku.

"Tolong berbahagialah," kataku.

"Aku bahagia, sayang," kata Mamabot.

"Tolong, jadilah sedikit lebih bahagia," kataku. Tenggorokanku sakit dan kata-kata itu tercekat.

Mamabot mulai bernyanyi.

"Kalau hatimu senang tepuk tangan---" 

Dia berusaha membuatku bahagia. Itu salah. Aku tidak akan bisa bahagia kalau Mamabot dibawa ke tempat daur ulang.

"Mamabot," kataku. "Mamabot."

Membuat seseorang tertawa saat dia sedih adalah hal yang salah.

"Mamabot," kataku. "Tolong tertawa."

"Ho-ho-ho," kata Mamabot.

Kedengarannya salah. Aku mencoba tersenyum pada Mamabot.

"Apakah kamu bahagia, Nak?"

Senyumku bergetar.

"Ya," aku berbohong.

"Kalau begitu aku juga bahagia," kata Mamabot.

Saat makan malam, kami berdua tersenyum dan berkata ho-ho-ho, dan Mamabot tidak dikirim ke tempat daur ulang, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang hilang.

Cikarang, 6 Desember 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun