Untuk waktu yang cukup lama, aku tidak memahami mengapa abangku sangat suka memancing saat badai. Kata Ibu, itu bermula ketika Deni meninggalkan boneka triceratop-nya di luar rumah.
Aku bisa membayangkan mata bayi Deni melebar saat menyadari Si Cucuk kesayangannya ditinggalkan di luar di tengah hujan, berjalan tertatih-tatih melewati tetesan air hujan, tapi terlambat. Badai selalu dapat dirasakan ketika seseorang meninggalkan harta karun di luar, dan seperti naga perampok harta bangsawan, mereka akan terbang bersama angin dingin untuk membawa benda-benda ke atas, membumbung ke atas lalu menjauh ke dalam lubang di tengah badai tempat semua harta bajakan badai disembunyikan.
Badai diperlukan untuk menjaga tanaman tetap hidup subur, namun badai juga merupakan kekuatan alam yang gelap, yang mengacaukan pawai, acara kampanye politik partai, atau pesta ulang tahun bocah putra sultan, atau meniup barang-barang berharga milikmu ke dalam awan gelap.
Saat aku lahir, Deni sudah tahu untuk tidak meninggalkan mainan di luar, tapi dia juga memperhatikan dan menjagaku.
Aku tidak pernah kehilangan apa pun karena badai. Tidak satu pun boneka kura-kura kesayanganku atau buku-buku tulisanku yang hampir jadi atau sweter hangatku pernah hilang.
Aku pernah sekali pergi memancing bersamanya, ketika usiaku 13 tahun dan dia tamat sekolah menengah atas. Dia membawaku ke lapangan terbuka dengan mobil pikap Chevolet rongsoknya. Karat mengukir gurat merah di sekeliling pelek roda. Pengharum mobil kopi Bali menutupi aroma jamur di jok yang sudah usang.
Kami mengenakan sepatu karet yang kedodoran sampai sekitar lutut dengan jas hujan kuning, kacamata, dan topi anti air. Di tangan kami ada alat pancing panjang dengan pengait keranjang kecil yang diikatkan gelang plastik berkilau sebagai umpan.
Hujan datang disertai bisikan rintik-rintik dan awan tipis yang merayap di langit. Tidak butuh waktu lama sebelum badai memberi tahu kami bahwa sebentar lami kami akan berbisnis dengannya.
"Apa yang sedang kamu cari?" Aku berteriak karena hentakan ketukan di topiku.
"Di sana!" Deni menunjuk ke awan. Awalnya aku tidak melihatnya, tapi kemudian, aku melihat apa yang dia maksud: area gelap yang bulat sempurna tempat badai menyembunyikan harta karunnya.
Deni mengayunkan joran pancingnya. garis tipis jaring laba-laba terpantul samar-samar saat angin mengambil umpan. Keranjang itu bagai titik yang menari di cakrawala sebelum menghilang ke dalam lubang hitam di tengah badai.
Aku mengendurkan joranku. Tali pancing belum kulempar, memperhatikan abangku. Hembusan angin menarik topiku. Basah dingin mulai menetes ke leherku.
Deni menarik tali pancingnya. Jorannya bergetar. Aku menyeka kacamataku dan melihat sesuatu berkibar seperti koran tertiup angin. Deni menariknya lebih dekat saat badai mencoba menariknya kembali. Aku bisa melihat selimut yang basah bergaris putih-biru. Lebih dekat, lebih dekat.
"Dapat!" Seringai Deni bersinar secerah matahari.
Meskipun wajahku basah dan jari kakiku dingin, aku kembali menyeringai.
Dia beberapa kali mengajakku , tapi aku tidak pernah ikut lagi. Terlalu sibuk, bergaul dengan teman-teman ketika menyelesaikan sekolah menengah atas dan mulai kuliah.
Tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa badai bukanlah satu-satunya kekuatan yang dapat mencuri. Kanker, serangan jantung, atau dalam kasus Deni, truk tronton yang merobek mobil pikap-nya yang berkarat. Sepanjang hidupku, dia melindungiku dari kehilangan, dan sekarang aku mempunyai lubang sebesar Deni dalam hidupku.
Aku dan Ibu bersiap membersihkan apartemen Deni yang penuh dengan boneka binatang dan figurin superhero, buku catatan dengan kertas kaku yang melengkung, kemeja dan selimut yang kusut. Semua benda yang dia ambil dari badai, dan semuanya diberi label dengan kode "Penemuan dalam Badai" dan situs web.
Aku mengetikkan alamat web ke ponselku.
"Menyatukan kembali Anda dengan harta karun Anda," kata situs tersebut. Wajah Deni tersenyum, tertulis sebagai penangkap harta karun badai terbaik.
Aku membayangkan dia mengenakan baju zirah, menyelamatkan harta karun dari badai seperti pahlawan dalam buku cerita menyelamatkan putri dari naga. Sekali melihat Ibu dan aku tahu kami akan menyimpan semuanya kalau-kalau ada yang mengklaimnya.
Tapi itu tidak cukup. Selama ini Deni berjuang sendirian.
Ketika laporan cuaca mengatakan badai akan datang, Aku mengenakan seragam tempur Deni: sepatu karet, jas hujan, kacamata, topi. Baunya kenyal di luar, seperti laci tua di dalam, yang mengecewakan. Aku mengira akan berbau seperti dia, kaos apak dan kolonyet yang terlalu kuat.
Aku berkendara ke lapangan yang sama ketika dia membawaku dulu, dan menunggu. Butuh beberapa saat bagiku untuk menemukan lubangnya, dan ketika aku menemukannya, aku harus melemparkan tali pancingku empat kali sebelum badai mengambil umpanku.
Aku menyeka kacamataku hingga bersih, tapi bukan hujan yang membuatnya basah.
Saat tali semakin kencang, aku menarik dan menggulung sementara badai menerpaku, dihantam penyesalan karena tidak pergi memancing bersama abangku untuk yang terakhir kalinya, memikirkan bahwa aku punya seumur hidup untuk dihabiskan bersamanya.
Aku merampas harta karun itu dari genggaman angin. Kaus hitam lembap, dan memeluknya erat-erat, membayangkannya sebagai jas hujan kuning dengan tangan di dalam. Aku akan memposting kaos itu secara online, untuk mencoba menemukan pemiliknya.
Saat hujan reda dan badai berpindah, aku tidak dapat melihat lubang itu lagi, tetapi aku bertanya-tanya apakah boneka triceratops masih ada di luar sana.
Aku mengerti mengapa abangku pergi memancing setiap ada kesempatan. Bisa dibayangkan semua harta karun yang telah hilang namun masih bisa ditemukan. Memikirkannya saja sudah membantu mengisi lubang dalam hidupku.
Aku menantikan badai berikutnya.
Cikarang, 3 Desember 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI