Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rusunawa (Bab 19)

21 September 2022   12:00 Diperbarui: 21 September 2022   12:02 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Mama Rano menghela napas panjang setelah mereka menceritakan betapa menakutkan hari itu bagi mereka. Rano terlalu membesar-besarkan keseluruhan skenario. Dia menambah-nambah keseruan pada setiap detail dengan menggerak-gerakkan tangannya disertai tiruan bunyi, sementara Suti menatapnya. Wajah Mama mencerminkan perasaan campur aduk saat Suti menatapnya dan Rano berkonsentrasi pada televisi.

"Itu benar-benar normal," kata Mama, menoleh ke arah Suti.

Suti mengangguk pelan pada Mama. Matanya yang sayu redup menonjolkan wajahnya yang pucat pasi.

Mama mendekat ke tempat tidur dan menyentuh wajahnya. Dia mengusap pipi putrinya dan menarik wajah Suti ke tubuhnya. Kepala Suti bertumpu pada paha Mama dan Mama mengusap punggungnya.

"Mestruasi menandakan bahwa kamu sudah menjadi seorang perempuan dewasa," kata Mama, "dan kamu harus berhati-hati dalam berteman dengan anak laki-laki. Jangan sembarangan bergaul, atau kamu bisa hamil."

Mata Suti membelalak. Dia mengangkat kepalanya. Bulu matanya bergetar dan alisnya berkerut.

"Betulkah?" dia berbisik dengan nada rendah.

Mama cepat-cepat berpaling ke arah Rano untuk mengetahui apakah anak laki-lakinya menguping diskusi mereka, tetapi perhatian anak sulungnya sepenuhnya tertuju pada adegan kejar-kejaran yang ditayangkan di televisi.

"Iya. Kamu harus hati-hati sama cowok. Hati-hati! Sedikit saja, kamu akan hamil," ucapnya lagi, meyakinkannya dengan mengangkat jari telunjuknya.

Suti mengangguk dan meyakinkan Mama bahwa dia tidak akan melakukan hal buruk pada dirinya sendiri. Mereka berpelukan dan Mama membisikkan doa-doa ketelinga Suti yang tidak dimengerti apa yang dibisikkan.

***

Sabtu pagi, Suti menyapu kamar dan mengumpulkan kotoran debu dengan serok. Sambil menjatuhkan sapu, dia berjalan keluar dari kamar dan menumpahkan isi serok ke dalam tong sampah.

"Dasar laki kagak guna! Malu-maluin aja lu jadi laki!" teriak seorang perempuan muda.

"Jangan salahin gue, dong! Lu aja yang mirip laki, mangkanye kagak ada yang mau ngawinin lu. Dasar perempuan kagak guna. Betina kagak danta!" sembur Linggis dengan ludah menyembur dari mulutnya.

Dia disela oleh seorang perempuan tua yang sedang menyapu lantai. Perempuan itu menertawakan pertengkaran mereka.

Suti memukul-mukul serok ke mulut tong sampah untuk membuang sisa kotoran. Dia berdiri dan memusatkan pandangannya pada mereka sambil membiarkan seroknya melayang ke kiri dan ke kanan. Di matanya hal itu lucu dia tidak bisa menahan tawa.

"Linggis, enak aja lu katain gue perempuan kagak danta. Lu sableng, ya?" perempuan muda itu bertanya dengan nada kesal.

Wajahnya merah padam terbakar amarah. Dia nyaris meledak disebabkan emosi yang mendidih di dalam diri. Sambil berjingkrak-jingkak dia memukul-mykul dinding dan mengumpat dengan memasukkan salah satu jarinya ke lidahnya.

"Eh, perempuan gila, lu kesambet, apa?" kata Linggis yang terhuyung-huyung dengan botol minuman di tangan kanan dan menahan celananya dengan tangan kiri. "Emang lu kagak danta, kagak genah ngelakuin kerjaan perempuan. Makanya kagak ada laki yang demen sama lu. Kasian deh, lu. Sampe kiamat kagak bakalan punya laki," katanya.

"Minggat lu, laki kagak guna! Urusan gue mau kawin atawa kagak!" perempuan muda itu berteriak.

"Encing Lola, cobalah tenang," kata Tiur perlahan sambil mendekat.

"Hahaha, lihat, tuh. Anak kecil aja bisaan ngajarin lu pegimana jadi perempuan yang bener," kata Linggis dan terkekeh, menenggak sisa minuman dari botol ke mulutnya.

Lola mengangkat tangannya dan menampar Linggis. Bunyi tamparan itu terdengar nyaring, bergemuruh keras.

Plaaak! 

Tamparan itu mendarat di pipi lelaki yang mabuk itu.

Linggis jatuh terkapar di atas rumput seperti pohon akasia yang roboh ditiup angin kencang, dengan mulut mencium rerumputan.

"Gue tabok lu sekali lagi, kagak bakalan lu bisa bangun, bencong!" ujar Lola.

"Astaga!" ucap Tiur dan menutup mulutnya dengan telapak tangan agar tidak membuat Lola marah. Dia bergegas ke arah Suti.

Umur Lola tujuh belas tahun, tapi dia satu kelas dengan Tiur. Lola menjadi penindas teman-temannya di sekolah. Mereka semua takut padanya.

Umur tujuh belas tahun di bangku kelas sembilan SMP. Tubuhnya kekar dan tidak ada yang berani mendekatinya. Temannya hanya sedikit dan takut kepadanya. Dulu dia pernah membuat seorang kakak kelas masuk rumah sakit karena koma, membuat semua anak lain takut padanya. Setelah diskors selama seminggu, dia kembali ke sekolah. Mereka yang dulunya memandangnya sebelah mata, mulai memberinya penghormatan yang pantas dia dapatkan.

Suti lari dengan cepat menghindari tatapan marah Lola yang masih mengomel tak terkendali.

Rano keluar tidak lama kemudian untuk menegur Suti dan bertanya apa yang membuatnya berlama-lama di luar.

"Kok lama banget buang sampah aja ?" tegur Rano.

Suti tak menjawab, hanya tubuhnya yang tampak gemetar.

"Lola menampar Linggis," Tiur menunjuk.

Rano menoleh dan melihat Linggis yang sedang berusaha untuk bangkit. Dia kembali jatuh ke rumput. Lelaki pemabuk itu kemudian duduk, mulutnya dipenuhi rumput dan bernapas terengah-engah.

"Lola, apa sih, masalahmu? Haruskah kamu berkelahi dengan semua orang di sini dan si sekolah sampai kamu merasa tidak ada lagi yang mampu melawanmu?" Rano bertanya dan berjalan ke arahnya.

Lola mundur sedikit.

"Jangan sekarang. Gue akan bikin perhtungan dengan lu, tapi nanti, bukan sekarang," katanya sambil berbalik dan pergi.

Rano yang berumur enam belas tahun sangat jangkung. Lola hampir tidak bisa mencapai bahunya. Tingginya sama dengan Tiur yang berusia empat belas tahun dan mereka berdua lebih tinggi dari Suti dengan beda lima sentimeter.

Rano memegang tangan Linggis dan membantunya berdiri, sampai akhirnya pemabuk itu berhasil menegakkan badannya dan berjalan terhuyung-huyung pulang.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun