Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 25: Hidup Kembali

3 Oktober 2021   10:38 Diperbarui: 3 Oktober 2021   10:38 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku melirik foto istriku sekali lagi, lalu melangkah keluar menuju untuk menemui wanita lain.

Hujan mengguyur ke atap kanopi carport terdengar bagai dengungan sejuta tuduhan.

Hujan. 

Apakah itu pertanda? Hujan turun pada hari pertamaku bertemu istriku di stasiun kereta.

Suara hujan berbisik, "Tetap di rumah, Hans, lihat fotonya lagi."

Tidak.

Aku akan tetap melakukan ini.

Dalam rinai hujan, aku menyetir menuju Jl. Dayang Sumbi.

Gugup.

Move on, Hans. Lanjutkan.

Detak jantung tak teratur, aku memasuki coffeenery.

"Pernah ke sini sebelumnya," bisikku, mengingat kembali saat aku menggoda Cecilia di salah satu pojok saat kami masih muda. Sangat muda.

Seorang wanita berambut hitam keperakan memainkan lagu di grand piano hitam.

Lagu itu....

Bukan apa-apa, bukan apa-apa. Lupakan saja.

Gelak tawa pengunjung menenggelamkan melodi. Pasangan dan kelompok mengobrol, mengunyah apa pun yang ada di depan mereka, minum, tertawa, dan tertawa, sangat keras. Cermin memantulkan bentuk dan warna ruangan sementara barista mengeringkan gelas, menatapku dengan curiga.

Bagaimana dia bisa tahu?

Tidak, Hans. Cuma khayalanmu belaka.

Di mana dia?

Aku melirik ke sekeliling ruangan mencari rambut lurus sebahu dengan bibir semerah ceri.

Ada tangan yang melambai.

Itu dia wanita lainku.

Aku berdiri membeku.

"Gun!" katanya dengan suara yang begitu memikat, melambai, tersenyum.

Datangi dia, Hans.

Tenggorokanku rasanya tersumbat. Aku berhasil menelan ludah, lalu maju selangkah.

Tunggu. Lagu yang dimainkan perempuan paruh baya itu.

Always.

"Lagu kita," bisikku. "Lagu di resepsi pernikahan kita."

Sebuah tanda. Pasti sebuah tanda. Dan bukan hanya bisikan, tapi teriakan. Berteriak. Berteriak menggedor gendang telingaku, "Pulanglah, Hans!"

Aku tidak bisa.

Kendalikan pikiranmu, Hans. Tutup telinga batinmu dari suara-suara itu.

Aku duduk, duduk di seberang wanita lainku.

Menggerakkan tanganku di atas meja, gugup. Eva meraih tanganku, memegangnya erat-erat. "Tidak apa-apa, Hans," katanya.

Kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang semerah ceri. Tapi apa yang akan Cecilia pikirkan jika dia mendengar kata-katanya, jika dia melihat dari balik bahuku?

"Hans?" suara lain datang dari ambang pintu.

Siapa ini? Siapa yang mengenaliku?

"Hans, apa kabar?"

Suara itu tak asing lagi. Ferry.

Ferry, lelaki dengan mulut emak-emak arisan tetangga.

Selalu begitu. Orang yang paling tidak ingin kamu jumpa adalah yang kamu temui.

Jangan berbalik, Hans. Dia belum melihat wajahmu, mungkin kamu bisa melarikan diri kemudian menyangkal semua ini.

Toilet ada di samping meja kasir. Di film, baik tokoh protagonis mau pun antagonis melarikan diri dari jendela toilet.

Tidak, tunggu. Aku pernah buang air kecil di situ. Seekor monyet kecil tidak akan bisa meloloskan diri melalui jendela itu.

"Hans?" Ferry berseru, diduga terdengar sampai Hutan Kota.

Eva menoleh. "Kamu kenal dia?"

"Eh ... ya."

Tangan Eva melambai di udara. "Di sini!"

Bagaimana dia bisa melakukan itu? Melambaikan tangan mengundang si mulut ember, begitu mudahnya.

Sekarang semua orang akan tahu aku berkencan dengan wanita lain ini. Mungkin ... mungkin aku bisa ngeles dengan keren. Kami cuma teman biasa. Lagipula, Ferry agak telat mikir.

Dia mendekat.

"Maaf, Fer," kataku, "tadi nggak denger, aku lagi nggak fokus." Kalau yang ini aku tidak berbohong sepenuhnya.

Ferry tidak tertarik dengan alasanku, atau untuk membalas kata-kataku. Dia melirik Eva.

"Kau tidak memperkenalkanku dengan nona ini?"

Eva tersenyum polos, mengibaskan rambut lurusnya yang sebahu.

Aku mengangguk padanya. "Ini Eva."

Eva mengulurkan tangannya. "Hei, Fer. Senang berkenalan denganmu."

Bersalaman. Kemudian hening.

Keheningan yang terasa mencekik tenggorokanku,  mencengkeram kuat.

Eva tersenyum padaku, lalu senyumnya bergabung dengan tatapan matanya yang lembut.

Ferry menunjukkan jarinya ke dadaku. "Ada yang berdebar kencang," katanya, "iya, kan?"

Aku menelan, mulai berkeringat. Tidak bisa menjawab. Tidak bisa memaksa diri untuk berkata-kata.

Ava menatapku penuh harap, menungguku untuk membuat pengakuan.

Kemudian dia menatap ke Ferry. "Kami sudah saling kenal selama dua bulan."

Wajahku panas, pastinya memerah seperti lobster direbus dalam air mendidih. Panasnya membara, tetapi rona merah yang terasa menghilangkan rasa bersalah. Sangat sulit untuk dipercaya, tapi aku senang Eva mengatakannya.

"Selamat," kata Ferry, tersenyum seakan ini adalah hari pernikahan kami atau semacam itu. Lalu dia menepuk bahu. "Sampai ketemu."

Eva tersenyum padaku, dan aku membalas senyumnya.

Kuraih tangannya dan meremasnya, dia balas meremas tanganku.

"Lima tahun," kataku padanya, tapi gagal menyebutkan perasaan bersalahku. "Lima tahun sejak kecelakaan itu."

Eva mengelus-elus tanganku. Berbeda dengan cara Cecilia melakukannya, tetapi efek menenangkannya sama. "Mendiang akan senang kamu menjalani kembali hidupmu."

Aku mengangguk, karena aku yakin Cecilia memang ingin aku terus hidup.

Cecilia yang terbaik. Tapi sekarang aku bertemu Eva.

"Sudah kubilang, mencoba terus hidup sama saja membunuh aku yang dulu."

Bandung, 3 Oktober 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun