Mohon tunggu...
Asti Sundari
Asti Sundari Mohon Tunggu... Lainnya - Berfikir adalah salah satu cara bersyukur telah diberi akal. Sebab keunggulan manusia dari akalnya.

Nikmatilah proses yang ada, karena setiap proses yang dilalui mengajarkan banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Filosofi Cinta

9 Agustus 2021   14:16 Diperbarui: 9 Agustus 2021   15:29 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari tampak mendung, awan mulai bergemuruh. Padahal hari masih siang, namun suasananya sudah seperti malam hari. Hari ini aku cukup sibuk, banyak kegiatan yang harus aku lakukan di kampus. 

Menjadi seorang Mahasiswa aktif diberbagai kegiatan apalagi sudah bergabung di Himpunan Mahasiswa Fakultas Pendidikan membuat aku harus membagi waktu mengikuti jam kuliah dan organisasi. 

Perkenalkan Namaku Tia aku lahir dari pinggiran kota bisa dibilang sebuah desa dengan perkampungan yang masih sejuk, dan aku harus berkuliah di sebuah kota kecil, walaupun tidak semegah Universitas di kota-kota besar. Aku baru semester tiga rasanya baru kemarin aku masuk di Universitas Kasih ini. 

Kali ini aku harus cepat-cepat masuk kelas karena sekarang aku harus mengikuti mata kuliah filsafat umum dimana dosen ini cukup selektif dalam nilai dan kehadiran. Dan aku terjebak oleh ritikan hujan.

“Aduh, udah jam dua lagi. Aku harus buru-buru masuk kelas kalo enggak aku bakal ditendang keluar kelas,” ucapku dalam hati sambil terus menerjang hujan. Ribuan air itu tidak membuat aku pantang menyerah untuk mengejar waktu, aku berlari sambil sesekali berhenti berteduh dan mencari-cari celah.

Saat aku sampai dikelas ternyata dosen itu belum hadir. Sepertinya dia terjebak oleh serbuan air diluar sana. Aku langsung membuka buku dan catatanku untuk bersiap-siap, bajuku cukup basah dan itu membuat tubuhku sedikit menggigil. Tiba-tiba...

“Tuk !” sebuah kertas dilempar ke kepalaku, refleks akupun menengok kebelakang.

“Rioo, apaan sih?!” kataku dengan nada kesal.

“Makanya mandi dong, jangan pas ujan aja mandinya,” ucap dia meledek

“Mending kamu minjemin aku jaket daripada ngeledek terus, Unfaedah tau,” kataku sambil menunjuk jaket dibelakang kursinya.

“Nih,” sambil melempar jaket itu, “ jangan lupa dicuci entar bau apek lagi.”

“Iya-iya.”

Tiba-tiba sang dosen akhirnya datang juga, ia mulai memberikan kuliah dan aku memperhatikan dengan seksama. Filsafat adalah salah satu mata kuliah yang membuat aku cukup tertarik. Karena banyak buku-buku yang aku baca soal filsafat juga. Saking asyiknya waktu berlalu dengan cepat and then mata kuliah pun selesai. Aku memberesken semua buku-buku ku dan Rio menghampiriku.

“Abis ini, mau kemana kamu Ti?” tanya Rio sambil berlalu dari kelas.

“Ke tempat tongkrongan dong,” jawabku sambil mengikutinya keluar dari kelas.

“Halahh nongkrong di ruang HIMA aja bangga, orang-orang itu nongkrongnya di Cafe. Ini paling di warung bu Iis sama di ruang HIMA.”

“Yaelah, kalo kamu mau nongkrong disono jangan ajak aku. Nongkrong sama yang lain aja. Aku ga diajarin jadi orang Hedonis yang ngasih makan para Kapitalis.”

“Widihhh mereka juga kan cari makan.”

“Mending beli kopi di warung bu Iis, selain hemat juga membantu para kaum Proletar dalam mencari rejeki.”

“Tapi, kan sama aja ngasih duit sama Kapitalis, wong yang bikin produknya mereka. Sama aja kan?”

“Iya deh, gimana kamu aja. Yang pasti penjualnya bukan kaum Proletar.”

“Yaudah ngalah deh, nanti malem ada rapat di taman kota. Diskusi perihal kegiatan yang bakalan kita adain.”

“Whatss? malem nih, apa ga digeser ke sore aja?”

“Kenapa ... takut? biasa balik malem ke kosan juga masa takut.”

“Pikirin juga yang lain, emang anggota HIMA aku aja. Kan banyak, apalagi ceweknya pasti cuma segelintir orang yang dateng.”

“Pokoknya nanti malem rapat, mau pada hadir atau enggak terserahlah. Soalnya cowok kebanyakan bisanya cuma malem. Diumumin rapat sore juga tetep aja mulainya malem.”

“Budaya Patriarki sih.”

“Apa?”

“Enggak ada apa-apa, ke Perpus dulu ya, aku pinjem jaketnya ga apa-apa, kan? kita ketemu ditaman nanti malem,” kataku sambil berlari kearah Perpus.

“Katanya mau ke ruang HIMA, jangan lupa balik dulu ke kosan, ganti baju nanti aku jemput dikosan oke!” ucap Rio sambil teriak.

“Oke deh!” teriak aku yang terus menjauh darinya.

Oh iya, aku belum memperkenalkan temanku yang satu itu. Namanya Rio, dia temen sekelas sekaligus juga sahabat aku. Kita bisa dibilang sahabat karena kita sering banget ketemu diberbagai kegiatan, kita juga satu semester. Dan aku paling banyak ngobrol sama dia. Aku juga punya temen perempuan, tapi kita jarang ngobrol karena aku sibuk diberbagai kegiatan dan jarang ikut nimbrung buat nongkrong sesama perempuan. 

Aku lebih seneng berada di tempat-tempat yang ga berisik, selain mengganggu pendengaran, rasanya ga rileks kalo ditengah keramaian. Perpustakan adalah tempat yang aku pilih selain warung  bu Iis, dan ruang HIMA. Dan akupun tenggelam masuk kedalam kesunyian ku disana.

Waktu sudah menunjukkan Pukul 20.00 WIB Rio belum datang juga, aku sudah siap dan rapi, sambil nunggu Rio menjemput aku baca buku tentang Eksistensialisme karya Jean Paul Sartre. 30 menit kemudian.

“Tok-tok-tok,“ suara mengetuk pintu, “woy Ti, buruan keluar.”

“Sabar yo,“ kataku sambil membuka pintu, “aku udah siap dari tadi. Lama amat sih?”

“Sorry tadi ada urusan mendadak,“ kata dia sambil menuju motornya.

“Iya deh, buruan. Udah pada nungguin tuh yang lain.”

“Oke, berangkat.”

Motor Beat itu melaju di tengah sinar lampu jalanan yang samar-samar, menerjang kegelapan dan menembus kesunyian. Taman itu cukup dekat, sekitar 10 menit sampai dengan menggunakan motor. Kita pun sampai ditaman, teman-teman yang lain sudah berkumpul ditengah lapangan basket.

“Lama banget sih Yo datengnya?” tanya dimas.

“Iya nih lama banget,” seru yang lain.

“Biasanya aku nunggu kalian 1 jam lebih, masa aku cuma telat 30 menit kalian protes.“

“Kalo salah, ngaku salah,” kataku.

“Bukannya dibelain udah dikasih tumpangan,” kata Rio padaku.

“Sorry, sorry sorry sultan ga pernah salah,” jawabku sambil bercanda.

“Hahahhahah iyalah,” jawab Rio sombong.

“Udah-udah jangan berkencan di depan kita,” kata Dimas melerai.

“Kencan  sama sesama cowok, ga ada dalam kamusku” jawab Rio.

“Tomboy gitu juga kan dia cewek Yo, banyak loh senior yang naksir sama Tia,” kata Dimas.

“Tuhhhh dengerin !!! cewek maskulin ga ada yang salah ko,” kataku.

“Matanya bolor tuh senior. Udah ah kita lanjut ke pembahasan kita aja. Jangan ngerumpi,” kata Rio mengakhiri obrolan. Dilanjutkan dengan rapat kegiatan HIMA Fakultas Pendidikan.

***

Paling seru menikmati pagi di taman kampus, sambil ditemani mentari pagi ditambah baca buku para filosof dengan secangkir kopi. Itulah yang sedang aku lakukan pagi ini. Sembari menunggu jam kuliah pukul 10.00 WIB aku menikmati pagi dengan menutrisi otakku dengan membaca. Dari kejahuan tampak Rio datang menuju tempat duduk ku, namun aku hanya melirik dan melanjutkan membaca tanpa menghiraukannya.

“Sibuk bener pagi ini?” kata Rio yang sudah duduk disampingku.

Aku melirik kearahnya sambil melihat sekilas lalu bergumam didalam hati, “laki-laki satu ini memang parasnya ganteng, walaupun ga ganteng-ganteng amat. Hobinya juga baca buku, pinter dan dia ketua HIMA Fakultas Pendidikan. Dengan segudang kelebihannya wajarlah kalo banyak perempuan yang naksir dia.”

“Woy ... kenapa ga dijawab!“ kata Rio sambil membentak.

“Keliatannya. Ga usah dijelasin kali.”

“Kenapa sih kamu ga kaya perempuan lain gitu, aga sedikit Feminim.”

“Ini pilihan aku buat maskulin, lagian aku tuh nyaman aja dandan kaya gini ga ribet, mana ga punya duit buat beli Makeup, mending buat bayar kuliah, nanti juga ada masanya ko. Cantik itu, ga harus ngikutin mindset para Kapitalis, tapi menurut hati yg terdalam.”

“Kalo dadanan gini,mana ada cowok yang suka sama kamu.”

“Aku kuliah bukan buat nyari pacar. Mungkin aja ada yg suka sama aku, cuman ga nampak aja. Kaya hantu gitu,” kataku Percaya diri.

Sebenarnya waktu awal masuk di semester tiga, ada sahabatnya Rio namanya Ujang dia udah deket sama Rio sejak awal masuk. Tiba-tiba dia ngajak ketemu dan ngobrol sama aku. Dia bilang Rio itu suka sama aku sejak awal masuk kuliah, semakin mengenal aku dia semakin suka dan berubah menjadi cinta

Apalagi sekarang aku sama Rio bakalan sering ketemu. Dan aku minta ke Ujang buat ga bilang ke Rio kalo aku tahu perasaan dia dan jangan pernah bilang perasaan aku ke Rio. “Jang, biar cinta aku dan Rio seperti ini dulu. Dan biarlah cinta kita juga yang menuntun arah perjalana kita,” kataku kepada Ujang. 

Ujang adalah teman satu Kost Rio, dia kuliah di Jurusan Teknik Mesin jadi kita beda Fakultas sama Ujang. Dia juga aktif di HIMA sama seperti Rio cuman dia di HIMA Fakultas Teknik. “Oke deh, kalian udah dewasa itu pilihan kalian, aku cuma berharap kalian baik-baik aja,” kata Ujang sembari pergi.

Tiba-tiba Rio membuyarkan lamunanku.

“Coba siapa?” kata Rio bertanya.

“Mana aku tahu,”  kataku mengelak

“Cowok idaman kamu kaya gimana?”

“Kaya kamu,” uppss keceplosan “ya, tapi ga semua mirip kamu, dia itu harus open minded apalagi soal perempuan,” tambahku agar tidak curiga.

“Aku juga open minded ko.”

“Kata siapa? buktinya barusan nyuruh aku buat feminim.”

“Biar kamu punya pacar aja.”

“Usil banget sih Yo. Udah jam 10 nih, ke kelas yu,” kataku sambil beranjak berdiri.

Sebenernya itu untuk mengalihkan pembicaran kita berdua. Saat berjalan menuju kelas tiba-tiba ada yang memanggil Rio dari belakang.

“Rio !” teriak Susi sambil menghampiri Rio.

“Hari ini duduk bareng lagi ya?” kata Susi pada Rio. Dan aku masih menampakkan wajah heran.

“Oke,” jawab Rio setuju.

“Sejak kapan kamu Deket sama Susi?” tanyaku pada Rio sambil berbisik.

“Kepo. Makanya jangan jadi orang yang individualis, liat juga sekitar. Kayanya kamu harus berhenti baca buku eksistensialisme ketularan jadi individualis tuh,” kata Rio sedikit menjengkelkan.

“Sewot banget sih Yo. Kamu pacaran sama Susi?”

“Kenapa sih kepo banget?” kata Rio.

“Makanya Ti, kamu kumpul-kumpul juga sama kita-kita, jangan so sibuk terus,” kata Susi sinis.

“Emangnya aku kuliah buat gaya doang,” ucapku pelan, “aku do'a in cepet jadian!” kataku sedikit berteriak sambil berlalu meninggalkan mereka berdua. Sedikit sakit hatiku, tapi apa urusannya denganku itu kan hak Rio mau deket sama siapapun lagian kita juga cuma temen biasa.

Waktu berlalu dengan cepat. Aku mulai jarang melihat Rio dikampus apalagi ngusilin aku. Aku Cuma bisa liat Rio di kelas itupun dia lagi sama Susi selain di kelas juga kita ketemu di rapat-rapat HIMA kalo dirapat biasanya Susi ga suka ngintilin Rio. Pagi ini sehabis mata kuliah Sejarah Bangsa Indonesia, aku langsung pergi ke perpus, tiba-tiba aku melihat Ujang.

“Hey Ujang !!” teriakku kepada Ujang.

“Hey Tia, kemana aja? jarang liat,” kata Ujang menyapaku.

“Ada aja. Mau kemana?”

“Mau ke perpus nih, balikin buku sekalian mau baca buku di perpus.”

“Wah, sekalian nih. Aku juga mau ke perpus.”

Kita pun mengobrol sambil berjalan menuju Perpustakaan.

“Gimana sama Rio?”

“Ga gimana-gimana biasa aja, seperti biasanya aja.”

“Aku sih aneh sama kalian berdua. Tapi yaudahlah itu urusan kalian.”

Lalu kita menghampiri meja perpustakaan dan mengembalikan buku. Lalu berkeliling mencari buku lain.

“Daripada ngomongin Rio mending ngobrolin buku. Kamu lagi cari buku apa nih?” Kataku pada Ujang mengalihkan topik.

“Hahhaah oke deh oke, aku lagi cari buku filsafat umum lagi ada tugas.”

“Nah ini dia,” sambil mengambil buku di rak, “ yang ini bukan?”

“Iya yang ini, makasih ya. Kamu sendiri lagi nyari buku apa?”

“Buku Simone, walaupun di perpus ini jarang sih ada buku-buku model kaya gitu.”

“Terus kalo jarang ada, ko sering banget ke perpus?”

“Paling cuma numpang baca. Kadang juga buat cari referensi tugas kuliah.”

“Oh gitu, tuh disana ada tempat  kosong ... disana aja yu.”

“Oke deh, aku mau nyari buku dulu .”

Udah sebulan berlalu aku udah jarang banget ketemu Rio malah aku jadi sering ketemu sama Ujang di Perpustakaan, padahal sebelumnya kita jarang banget ngobrol dan ketemu. Aku juga sering diskusi soal Filsafat, Politik, Sosial dan persoalan kampus dimana Mahasiswa berperan penting dalam kebijakan kampus.

Hari ini kebetulan jam kuliahku siang karena hari ini cuma  satu matkul, dan aku baru aja keluar setelah mata kuliah Psikologi. Tapi tiba-tiba aku ngeliat ke jendela disana ada Rio sama Ujang ditaman kampus. Muka mereka serius banget, disitu juga ada Susi dan beberapa temannya. Aku langsung aja buru-buru turun tangga dan menuju mereka. Ternyata mereka lagi adu mulut, dan aku ga tahu apa yang lagi mereka debatkan.

“Ada apa, serius banget?” kataku dihadapan mereka.

“Cewek aneh dateng,” kata Susi samar. Tapi aku ga menggubris ucapannya aku fokus sama kedua sahabat ini. Seketika hening.

“Helloo, perasaan tadi kalian teriak-teriak deh,” kataku mulai heran

“Harusnya kamu selesaikan permasalahan kamu sama Tia. Bukan sama aku!” kata Ujang kepada Rio.

Tiba-tiba aku bingung namaku disebut-sebut. Aku bertanya-tanya dalam hati dan itu membuat jantungku berdetak kencang dan gemetaran, aku bisa menebak apa yang mereka bicarakan. Tapi apa hubungannya semua ini?.

“Jang, sabar dulu. Sebenernya ini ada apa?“ kataku pada Ujang.

“Ti, sebaiknya kamu bicara sama Rio aja. Aku ga perlu jelasin apa-apa,ini persoalan kalian berdua,” kata Ujang sembari pergi.

Susi dan teman-temannya pun ikut meninggalkan kita berdua. Suasana sangat hening, Rio masih terlihat marah. Dan pandangan oranglain menuju kearah kita berdua, itu sedikit mengganggu. Akhirnya aku tarik tangan Rio untuk bicara ditempat yang aga sepi. Aku membawa dia ke gedung belakang ujung kelas, disana tidak ada siapa-siapa walaupun ada  beberapa Mahasiswa yang lalu lalang. Tempat kita lumayan jauh dari mereka.

“Aku ga tau persoalannya dimana. Dan tiba-tiba nama aku di sebut-sebut dalam percakapan tadi. Coba jelasin Yo, apa yang terjadi kamu sama Ujang tadi?” kataku kepada Rio dengan nada lembut.

“Kamu sama Ujang ada hubungan apa sih?” kata Rio masih diliputi emosi.

“Aku sama Ujang ga ada apa-apa Yo. Kita cuma sering ketemu di Perpustakaan dan diskusi aja. Lagian kita bisa diskusi sama siapa aja kan? Aku juga ga mempermasalahkan kedekatan kamu sama Susi.”

“Aku sama Susi itu ga ada apa-apa, sedangkan Ujang kayanya suka sama kamu.”

“Kamu mungkin ga punya perasaan apa-apa sama Susi, tapi Susi jelas-jelas suka sama kamu karena kamu banyak menghabiskan waktu sama dia. Soal Ujang suka sama aku, itu urusan dia. Aku ga pernah denger Ujang bilang suka sama aku. Aku yakin Ujang suka hanya sebatas teman diskusi ga lebih.”

“Tapi itu mengganngu aku Ti.”

“Ujang itu sahabat kamu yang paling baik. Aku tahu kamu suka sama aku dari Ujang karena dia kahawatir sama kamu. Aku juga bilang ke Ujang kalo aku suka sama kamu. Aku minta Ujang merahasiakan ini karena takut menghancurkan hubungan pertemanan kita.”

“Kenapa kamu ga cemburu liat aku sama Susi?”

“Aku cemburu Yo, tapi apa hak aku buat melarang kamu mendekati orang yang kamu pilih. Kita hanya sebatas teman. Lagian cinta itu bebas datang dan pergi, siapa yang dapat membendung itu semua siapa yang dapat mengikat itu semua. Ikatan pernikahan saja belum tentu dapat mengikat cinta seseorang. Begitupun dengan perasaan Susi, kamu memberikan harapan pada Susi hingga cinta itu terbang mengarah kepadamu. Dan aku pikir mungkin kamu udah ga suka sama aku.“

“Aku deketin Susi supaya lupa sama kamu, dan itu ga berhasil.”

“Yo, dengerin aku, cinta itu bebas ia seperti burung di langit, dia terbang seiring musim berganti. Ia hinggap di pohon mana aja. Tidak ada yang dapat mengalanginya. Kecuali kamu menyakitinya seperti para pemburu itu. Yang menembakkan pelurunya untuk menghentikan burung-burung itu terbang dan memberikan kehidupan disangkar. Aku ga mau seperti itu Yo, aku mencintai kamu dengan tulus. Tidak sedetikpun aku mudah melupakanmu, tapi bukan berarti aku harus seperti pemburu itu, menyakiti kamu.”

“Dengan sikap seperti ini, kamu menyakiti aku.”

Cinta adalah kumpulan rasa, bahagia, rindu, nyaman, kecocokan, ketertarikan, kesedihan dan rasa sakit, seperti sikap kamu kepada Susi yang mempermainkan perasaannya hanya untuk bermain-main. Seperti aku kepadamu yang ga bicara jujur tentang perasaanku. Seperti kamu yang ga bicara jujur soal perasaanmu padaku.”

“Kenapa kamu ga ngomong, apa kamu malu karena kamu perempuan?”

“Bukan Yo, aku ga ngomong karena aku ga ingin, dan keadaan kita ga memungkinkan aku ngomong. Cinta tak sesederhana itu Yo, ia ga nampak, yang nampak hanya cara mengekspresikannya aja. Mau kita berpacaran atau enggak, kita akan mencintai dengan berbagai rasa yang tidak selamanya bahagia.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun