Mohon tunggu...
Asep Sukarna
Asep Sukarna Mohon Tunggu... Freelancer

Penjaga aroma yang tidak pernah selesai. Menulis bukan untuk menjelaskan, apalagi mengejar rating. Aku menulis hanya untuk menyeduh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Judul Bab 5 Menunggu Napas Sendiri

7 Agustus 2025   04:52 Diperbarui: 19 Agustus 2025   04:44 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Oetoenk 

Baca juga Bab 4:

https://www.kompasiana.com/asepsukarna5061/688e761fc925c47511624482/bab-4-memo-tubuh-dalam-perjalanan

Setibanya di Cilacap malam itu, Raka memilih bermalam di Hotel Mutiara. Kota masih menyimpan bau aspal basah, dan tubuhnya belum sepenuhnya selesai menyerap perjalanan panjang dari Temanggung. Ia baru tertidur menjelang subuh---lelap, dalam, seolah menyusup ke ruang sunyi tanpa mimpi.

Ia terbangun sekitar pukul sepuluh. Linu ringan menjalari sendi---jejak jalan yang tertanam pelan di tubuh. Setelah mandi air hangat, ia berdiri di depan cermin: wajah tercukur rapi, dan rambut gondrong sebahu yang kini ia rawat pelan adalah sisa keputusan lama---saat ia mulai jenuh dengan cukuran pendek seperti tentara. Rambut itu tidak ia bentuk, hanya ia biarkan tumbuh sebagai penanda tubuh yang telah menolak keteraturan.

Raka mengenakan kaos hitam, jaket tipis yang menguatkan bahu, celana jeans, dan sepatu boots Timberland berwarna krem. Gerakannya teratur dan pelan---kebiasaan yang sudah lama ia pelihara setiap kali bepergian, bukan karena gaya, tapi karena ingin menjaga rasa tenang saat berpindah ruang.

---

Lorong itu tidak panjang, tapi terasa lebih jauh dari yang semestinya---cahaya lampu gantung bergoyang pelan, seperti menyimpan sisa subuh yang belum selesai. Udara mengandung aroma pendingin ruangan dan jejak karpet basah yang menyerap langkah.

Raka melangkah sendirian, tubuhnya pelan tapi pasti. Di depan, seorang perempuan baru saja keluar dari ruang rapat---map di tangan, rambut hitam diikat rendah, satu helai jatuh ke pelipis. Ia tak terburu, tapi tidak santai. Lalu, sesuatu di mapnya tergelincir---dokumen-dokumen jatuh, berserak tanpa suara, hanya menyisakan bunyi kertas yang meluncur seperti hujan tanpa air.

Raka berhenti. Dunia terasa berhenti bersamanya.

Ia menunduk pelan, membantu merapikan kertas. Tangannya nyaris menyentuh jemari perempuan itu, tapi tak jadi. Satu lembar kertas terbuka: logo pemerintah daerah, dan nama kegiatan yang samar ia kenali. Ia mengangkat matanya.

Perempuan itu berdiri, wajahnya putih bersih, mata lebar tapi lelah. Rambutnya bergerak pelan saat ia membungkuk kembali. Raka mengenali itu---bukan dari rupa, tapi dari gerak. Ia mengenali tubuh yang dulu ia simpan, diam-diam, di sudut kost Cilacap tahun 1997.

"Terima kasih," ucapnya, suaranya datar, nyaris tanpa nada.

Raka tidak menjawab. Ia hanya berdiri dan membiarkan perempuan itu melangkah pergi, map kembali di tangan, rambut kembali tenang. Lift berdenting di ujung lorong. Pintu terbuka. Suci hilang di balik pantulan cermin lift.

Raka tetap diam. Di lorong itu, tubuhnya tidak bergerak, tapi memo di dadanya mulai mengalir, seperti luka kecil yang akhirnya membuka suara.

----------

Restoran Lotus tidak ramai pagi itu, hanya suara sendok dan garpu yang membelah udara, bercampur aroma teh melati dan nasi goreng yang mengambang pelan di langit-langit ruangan.

Raka masuk, tubuhnya masih membawa sisa lorong. Ia memilih meja dekat jendela---cahaya menerpa setengah wajahnya, memantulkan bayangan rambut yang sudah tidak lagi tunduk pada keteraturan.

Pelayan mendekat.

"Kopi hitam dan roti panggang," ucap Raka tanpa menatap. Ia belum benar-benar lapar, hanya ingin menenangkan memo yang sejak subuh mulai berbicara pelan.

Di sudut ruangan, Suci sudah duduk.

Map di meja, ponsel di tangan, dan secangkir teh tubruk yang baru saja diaduk tanpa tergesa. Ia tidak menoleh, tapi tubuhnya menyimpan garis yang pernah Raka hafal---dari gerak rambut sampai cara duduk yang selalu miring sedikit ke kanan.

Pelayan salah sebut nama, "Ibu Suci Yuliana?"

Ia menoleh, senyum kecil mengambang di wajahnya, cukup untuk membuat waktu menahan detik. Raka mendengar nama itu seperti mendengar kembali suara mesin proyek yang pernah mengantarnya pulang ke lantai dua kost dua puluh tahun lalu.

Ia tidak bergerak. Tapi memo di dadanya mulai mengetuk:

"Aku pernah duduk di meja itu. Kau belum menikah, aku belum tahu arti kehilangan."

Cangkir teh bergeser sedikit, dan dalam pantulan sendok, wajah Suci terlihat samar, seperti tubuh yang belum siap kembali jadi tokoh.

Sendok yang memantulkan wajah Suci bergeser pelan. Matanya sempat beradu pandang dengan Raka, tapi cepat kembali ke piring.

Raka menatap cangkir kopinya sejenak, lalu berkata---tidak terlalu keras, tapi cukup untuk terdengar di antara alunan musik latar yang patah-patah:

"Maaf... soal lorong tadi."

Suci tak langsung menjawab. Ia menarik napas pelan, mengusap sudut bibir dengan tisu, lalu menoleh pelan. "Kau hampir menabrakku."

Raka mengangguk. "Dan memo yang kau bawa, sempat terguncang. Aku tak ingin menyentuhnya."

Suci tersenyum tipis, seperti menyeka bayangan masa lalu yang belum disapa. "Memo ini sudah terguncang sejak lama."

Di meja, roti panggang mulai dingin. Tapi aroma kopi justru menguat, seolah mengajak kedua tubuh yang pernah tak bersuara untuk mengingat rasa---bukan kejadian.

Kursi bergeser pelan, suara gesekannya menyentuh lantai seperti awal langkah yang tak diundang.

Raka berdiri, membawa tubuh memo yang sejak tadi menahan kata, dan tanpa bicara ia mendekat ke meja Suci. Tak ada permisi, tak ada basa-basi---hanya gerak yang menunjukkan bahwa diamnya sudah cukup lama.

Ia duduk perlahan. Jarak di antara mereka tak lagi ruang restoran, tapi ruang yang pernah mereka tinggalkan dua puluh tahun lalu. Teh tubruk di depan Suci masih hangat, tapi suasana mulai dingin---seperti waktu tahu bahwa ia akan dihampiri.

Raka menatap wajah Suci lekat-lekat. Tidak menilai, tidak membandingkan, hanya memastikan.

Matanya membaca pelipis, sudut bibir, dan gerak nafas. Rambut yang dulu sering ia lihat dari balik kaca jendela kost lantai dua, kini terikat rapi, tapi ada helai yang tetap memberontak. Ia tak bicara, tapi memo dalam dadanya mulai menyusun ulang kejadian lama---mereka pernah nyaris berbincang, tapi tak pernah bicara.

Suci mengangkat wajah, menatap balik. Ada jeda, panjang, seperti sedang membiarkan Raka selesai membaca wajahnya.

"Ya," katanya pelan, seperti menjawab sesuatu yang belum ditanya. "Aku masih orang yang sama. Tapi tak semua rasa masih utuh."

Raka menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi roti panggang di mejanya lebih dulu retak.

"Aku ingin yakin... bahwa kau bukan bayangan, tapi benar-benar kau."

Suci tersenyum, tidak lembut, tapi jujur. "Kalau aku bayangan, kau tak akan berani duduk di sini."

Ia sempat menahan tatapannya, menganalisis tubuh yang duduk di hadapannya: rambut gondrong, bahu lebih lebar, dada bidang. Dulu Raka kurus, tirus, langkah tergesa seperti mengejar laporan teknis. Ia bukan pekerja lapangan, ia koordinator proyek---memikul tanggung jawab, tapi tidak mengangkat beton.

Kost lantai dua tempatnya dulu berpikir cukup lapang: meja kayu besar, lampu baca, rak tipis berisi laporan, dan Toshiba Satellite yang nyaris tidak pernah mati.

Motorola AMPS kadang berdering, suara serak dari pengecoran, atau sekadar memo teknis yang harus diselesaikan malam itu. Tapi memo tubuh Raka lebih banyak berbicara dalam diam.

"Lalu... apa yang membawamu kembali ke kota kecil ini?" ucap Suci, tidak bertanya, tapi membuka pintu memo.

Raka menyesap kopinya, pelan. Jemarinya perlahan menggenggam tangan Suci, tidak erat, tapi cukup untuk mengatakan bahwa ia belum selesai.

"Dulu kau pernah bilang... berat meninggalkan kota kecil seperti ini. Pasti akan ngangenin, kan? Dan mungkin ini bukan kebetulan."

Suci menatap Raka sambil mengangkat alis pelan. "Ah, masih saja suka gombal..." ujarnya, tidak marah, tidak tersipu---hanya seperti ingin menyeimbangkan atmosfir yang mulai hangat.

Raka tak membalas dengan kata, hanya senyum samar yang tidak mencoba meyakinkan apa-apa.

Ia membenarkan duduknya, lalu berkata pelan, "Gombal mungkin... tapi aku tak sedang bermain-main."

Suci menghela napas. "Waktu memang mengajari kita banyak hal. Tapi kadang... orang tidak benar-benar berubah, hanya pindah tempat menyimpan rasa."

Mereka tertawa kecil. Tidak keras, hanya cukup untuk mengusir dingin yang sejak tadi bergantung di langit-langit restoran.

Lalu percakapan bergulir: tentang pekerjaan, tentang keluarga yang perlahan mengecil, tentang hari-hari di Cilacap yang tidak selalu sederhana.

Raka bercerita tentang masa pasca proyek, tentang kota-kota yang dilewatinya, tentang keputusan-keputusan yang tidak pernah benar-benar mudah.

Ia menyebut Temanggung, menyebut kopi, menyebut rumah yang kini menjadi arsip hidup---bukan sekadar tempat tinggal.

Suci mendengar. Kadang tersenyum, kadang menunduk.

Ia pun bercerita: tentang menjadi janda di usia muda, tentang birokrasi yang kadang membuatnya kehilangan arah, tentang kehilangan tanpa prosesi, tentang memo tubuh yang tidak pernah sempat ia tuliskan.

"Dulu aku ingin menulis... tapi tak pernah punya ruang cukup tenang," ujarnya.

Raka menimpali, "Kadang ruang tenang justru muncul saat kita berhenti mencari."

Percakapan itu seperti aliran teh tubruk yang tak pernah terlalu panas, tapi juga tidak dingin.

Tidak ada kata 'maaf' yang berulang, tidak ada 'kenapa' yang dipaksakan.

Yang hadir hanyalah tubuh-tubuh memo yang akhirnya saling duduk, bukan saling menuntut.

Suci merapikan map dan mengirimkan satu pesan pendek ke ponselnya---matanya menatap layar, tapi jari-jarinya bergerak ringan, seolah tidak sedang terburu.

"Aku sudah kirim ke staf. Agenda siang ini bisa mereka teruskan," katanya tanpa nada berat.

Raka mengangguk, senang tapi tidak menunjukkan.

"Kota ini masih sama?"

Suci tersenyum pelan, memungut tasnya dari samping kursi. "Tidak pernah benar-benar berubah, hanya menua dengan cara yang diam."

Keduanya bangkit dari kursi. Bayangan tubuh mereka sejenak menyentuh lantai restoran, lalu perlahan bergerak menuju pintu keluar.

Suara lonceng kecil di atas pintu berdenting---mengantar napas lama yang kini mulai berjalan bersama.

Di luar, angin Cilacap bergerak pelan, seperti menyambut dua memo tubuh yang pernah tinggal di kota ini tanpa saling bicara.

Langit mendung, tapi tidak murung.

"Kau ingin ke mana?" tanya Raka, nadanya bukan ajakan, tapi semacam pengakuan bahwa ia siap mengikuti.

Suci menatap jalan, lalu menunjuk pelan ke arah simpang yang mengarah ke halaman hotel. "Ada warung kecil di belakang hotel, dulu tempatku beli rokok untuk ayah. Kadang juga teh kemasan, tapi selalu tumpah."

Raka tertawa pelan. "Warung itu masih ada?"

"Entah... mari kita lihat. Kalau tidak ada, kita duduk saja di bangku beton dekat pohon flamboyan itu. Kau ingat?"

"Sangat," jawab Raka. "Bangku yang dulu penuh coretan nama, dan satu garis bertuliskan 'Suci dan yang tak disebut.'"

Suci tersenyum. "Sekarang kau menyebutnya."

Langkah mereka menyusuri trotoar, tidak cepat, tidak ragu---seperti dua tubuh memo yang tahu pertemuan ini bukan akhir, hanya jeda yang cukup untuk membiarkan rasa kembali berjalan.

----------

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun