Baca juga Bab 3 :
Raka memulai perjalanan dari Temanggung. Udara pagi enggan bergerak, matahari belum muncul sepenuhnya dari sela Sindoro-Sumbing, dan aroma tembakau lembab merayap di antara jemuran rumah yang baru dibuka. Ia tak membawa ransel, hanya jaket hijau tua, satu lembar memo kerja terlipat di kantong dalam, dan R27 yang sudah tak bersuara nyaring.Â
Di jok motor itu, ia meletakkan tubuh dengan pelan, seperti bersiap menyusuri waktu, bukan sekadar jarak.
Dari Temanggung ke arah Wonosobo, jalan mulai mendaki, dan kabut di antara pepohonan teh seperti menyimpan detak memo dari masa silam.Â
Di tikungan pertama, tubuhnya mengingat aroma mixer semen, suara teriakan mandor Korea, dan angin sore yang pernah membuat helm proyek terasa lebih berat. Tapi hari ini ia tidak sedang bekerja, hanya melacak fragmen tubuhnya sendiri yang pernah dibekukan di Cilacap.
Wonosobo ia lewati dengan diam. Tapi suara air dari kebun teh masuk pelan ke dalam dada. Di warung pinggir jalan, anak-anak menyeduh teh tubruk dengan takaran yang hanya mereka pahami. Tubuh Raka tak meminta kopi. Hanya melaju perlahan dengan R27, membiarkan bunyi mesin menyatu dengan ranting dan aroma daun basah.
Memasuki Banjarnegara, ia menepi di sungai Serayu. Batu-batu sungai tertata acak, tapi seperti mengenal pijakan lama. Ia duduk di atas batu datar, membuka helm, dan membiarkan sisa hujan menyentuh sepatu proyek yang masih ia kenakan.Â
Di kantong jaket kiri, memo tentang shift malam tahun 1996 masih terlipat. Ia tak membacanya, hanya membiarkan udara menyentuh kertas.
R27 terparkir dengan standar nyaris patah. Warung kecil di seberang menyimpan botol jamu dan rokok berdebu. Penjualnya tak bertanya. Teh dalam gelas kecil disodorkan pelan. Raka meminumnya---aroma kayu manis dan jahe seperti tubuh yang baru dibersihkan.
Purbalingga menampilkan lanskap lain: toko onderdil, suara penggiling logam menyentuh telinga seperti denting mixer.Â