Anak-anak muda mengangkat karung pasir, tubuh mereka mirip tubuh Raka dulu---tidak rapi, tapi mengerti kelelahan. Di satu persimpangan, ia berhenti, memotret warung bensin eceran dan terpal biru. Foto itu bukan arsip, hanya pengingat warna malam kerja.
Masuk Banyumas, Serayu lebar dan dalam. Raka melaju pelan. Air sungai menyimpan cahaya yang tak stabil---memo kerja yang sempat tercecer.Â
Di Kebasen, ia berhenti di Bendung Gerak Serayu. Bangunan itu sunyi dan tidak berubah sejak November 1996. Saat itu, Presiden datang meresmikan bendung. Tubuh Raka mengenakan sepatu proyek dan mengangkut material dari truk pengangkut pasir.Â
Bendung membekukan air---seperti jadwal kerja yang membekukan suara tubuh delapan bulan lamanya. Celah besi dan beton mengalirkan air paksa, memo tubuh ikut mengalir---samar, pelan, tetap berdetak.
Di Jatilawang, ia menepi di kios fotokopi tua dekat gerbang SMA. Stiker lama dan harga cetak miring masih menempel. Kios itu bukan sekadar tempat cetak tugas, ruang belakangnya pernah jadi studio musik---tempat tubuh menyuarakan memo yang tak bisa ditulis. Zerobeat, grup lokal, menjadi tempat pelarian: drum tua, gitar karat, amplifier pecah diam. Studio kini terkunci. Raka menyentuh kaca pintu. Aroma tinta dan debu amplifier bercampur di dada.
Ia masuk Warung Soto Pak Sis. Meja kayu goyah, kipas tua, televisi tak menyala. Ia memesan soto dan tempe mendoan, duduk di sudut biasa, menyantap pelan. Soto bukan pengganjal lapar, tapi aroma yang memanggil memo lama dari Cilacap: jam dua pagi, helm basah, kopi pahit di barak.
Grup WhatsApp Kedai Lembang aktif:
Gilang: "Om, sudah sampai di mana?"
Fahri: "Kalau sudah masuk Cilacap, kirim titik. Kita tunggu kabar saja."
Raka: [Foto Soto & Mendoan] "Jatilawang. Masih ada dua jam ke Cilacap. Motor tua pelan-pelan."
Ia tak mengetik lagi. Di luar, R27 parkir seperti kuda tua yang tahu jalan tapi tak ingin berlari. Sungai jauh membaca memo pelan.