Raka mengangguk, senang tapi tidak menunjukkan.
"Kota ini masih sama?"
Suci tersenyum pelan, memungut tasnya dari samping kursi. "Tidak pernah benar-benar berubah, hanya menua dengan cara yang diam."
Keduanya bangkit dari kursi. Bayangan tubuh mereka sejenak menyentuh lantai restoran, lalu perlahan bergerak menuju pintu keluar.
Suara lonceng kecil di atas pintu berdenting---mengantar napas lama yang kini mulai berjalan bersama.
Di luar, angin Cilacap bergerak pelan, seperti menyambut dua memo tubuh yang pernah tinggal di kota ini tanpa saling bicara.
Langit mendung, tapi tidak murung.
"Kau ingin ke mana?"Â tanya Raka, nadanya bukan ajakan, tapi semacam pengakuan bahwa ia siap mengikuti.
Suci menatap jalan, lalu menunjuk pelan ke arah simpang yang mengarah ke halaman hotel. "Ada warung kecil di belakang hotel, dulu tempatku beli rokok untuk ayah. Kadang juga teh kemasan, tapi selalu tumpah."
Raka tertawa pelan. "Warung itu masih ada?"
"Entah... mari kita lihat. Kalau tidak ada, kita duduk saja di bangku beton dekat pohon flamboyan itu. Kau ingat?"