Ia menoleh, senyum kecil mengambang di wajahnya, cukup untuk membuat waktu menahan detik. Raka mendengar nama itu seperti mendengar kembali suara mesin proyek yang pernah mengantarnya pulang ke lantai dua kost dua puluh tahun lalu.
Ia tidak bergerak. Tapi memo di dadanya mulai mengetuk:
"Aku pernah duduk di meja itu. Kau belum menikah, aku belum tahu arti kehilangan."
Cangkir teh bergeser sedikit, dan dalam pantulan sendok, wajah Suci terlihat samar, seperti tubuh yang belum siap kembali jadi tokoh.
Sendok yang memantulkan wajah Suci bergeser pelan. Matanya sempat beradu pandang dengan Raka, tapi cepat kembali ke piring.
Raka menatap cangkir kopinya sejenak, lalu berkata---tidak terlalu keras, tapi cukup untuk terdengar di antara alunan musik latar yang patah-patah:
"Maaf... soal lorong tadi."
Suci tak langsung menjawab. Ia menarik napas pelan, mengusap sudut bibir dengan tisu, lalu menoleh pelan. "Kau hampir menabrakku."
Raka mengangguk. "Dan memo yang kau bawa, sempat terguncang. Aku tak ingin menyentuhnya."
Suci tersenyum tipis, seperti menyeka bayangan masa lalu yang belum disapa. "Memo ini sudah terguncang sejak lama."
Di meja, roti panggang mulai dingin. Tapi aroma kopi justru menguat, seolah mengajak kedua tubuh yang pernah tak bersuara untuk mengingat rasa---bukan kejadian.