"Terima kasih," ucapnya, suaranya datar, nyaris tanpa nada.
Raka tidak menjawab. Ia hanya berdiri dan membiarkan perempuan itu melangkah pergi, map kembali di tangan, rambut kembali tenang. Lift berdenting di ujung lorong. Pintu terbuka. Suci hilang di balik pantulan cermin lift.
Raka tetap diam. Di lorong itu, tubuhnya tidak bergerak, tapi memo di dadanya mulai mengalir, seperti luka kecil yang akhirnya membuka suara.
----------
Restoran Lotus tidak ramai pagi itu, hanya suara sendok dan garpu yang membelah udara, bercampur aroma teh melati dan nasi goreng yang mengambang pelan di langit-langit ruangan.
Raka masuk, tubuhnya masih membawa sisa lorong. Ia memilih meja dekat jendela---cahaya menerpa setengah wajahnya, memantulkan bayangan rambut yang sudah tidak lagi tunduk pada keteraturan.
Pelayan mendekat.
"Kopi hitam dan roti panggang," ucap Raka tanpa menatap. Ia belum benar-benar lapar, hanya ingin menenangkan memo yang sejak subuh mulai berbicara pelan.
Di sudut ruangan, Suci sudah duduk.
Map di meja, ponsel di tangan, dan secangkir teh tubruk yang baru saja diaduk tanpa tergesa. Ia tidak menoleh, tapi tubuhnya menyimpan garis yang pernah Raka hafal---dari gerak rambut sampai cara duduk yang selalu miring sedikit ke kanan.
Pelayan salah sebut nama, "Ibu Suci Yuliana?"