A. Kantin sebagai ruang praktik bisnis riil
Kantin sekolah adalah panggung paling sederhana dari sebuah drama ekonomi. Setiap hari ada penjual, pembeli, modal, laba, rugi, bahkan spekulasi kecil-kecilan. Namun, selama ini panggung itu dikelola orang luar sekolah atau manajemen semata, seakan-akan siswa tidak pantas ikut ambil bagian. Padahal, di sinilah kesempatan emas menanamkan pengalaman bisnis riil sejak dini.
Ketika siswa diberi akses mengelola stan kantin, mereka langsung bersentuhan dengan kenyataan pasar. Mereka harus menentukan menu, menata harga, menghitung stok, melayani pembeli, hingga mengelola sisa dagangan. Tidak ada teori yang lebih keras daripada seorang siswa yang mendapati jualannya tak laku, atau sebaliknya, merasakan euforia ketika dagangan habis dalam waktu singkat. Itu bukan simulasi, itu adalah realitas.
Kantin dengan demikian bukan hanya tempat makan, tetapi bisa menjadi laboratorium bisnis hidup. Di sinilah siswa belajar disiplin waktu---karena keterlambatan membuka stan berarti kehilangan pembeli. Di sinilah mereka belajar etika layanan---karena senyum dan sapaan ramah sering lebih ampuh daripada diskon harga. Di sinilah pula mereka belajar daya saing---karena pasar kantin kecil tetap tunduk pada hukum persaingan bebas.
Yang lebih penting, pengalaman ini menumbuhkan mentalitas pengusaha: berani mengambil risiko, belajar dari kegagalan, dan selalu mencari cara baru untuk bertahan. Kantin menjadi tempat siswa merasakan denyut ekonomi bukan sekadar lewat cerita guru, tetapi melalui tangan dan keringat mereka sendiri.
Jika dikelola sebagai ruang praktik bisnis riil, kantin bisa melampaui fungsinya sebagai ruang konsumsi: ia menjelma menjadi ruang pendidikan, tempat di mana teori ekonomi berubah menjadi pengalaman hidup.
B. Koperasi sebagai pusat modal dan pembagian keuntungan
Jika kantin adalah panggung bisnis riil, maka koperasi adalah jantung perputaran modal. Ia bukan sekadar toko serba ada yang menjual alat tulis atau seragam sekolah, melainkan lembaga keuangan mini yang bisa menggerakkan denyut ekonomi siswa. Sayangnya, di banyak sekolah, koperasi sering mati suri: dikelola seadanya, tidak transparan, dan hanya menjadi mesin pengumpul keuntungan kecil bagi segelintir pengurus.
Padahal, koperasi seharusnya menjadi pusat modal bersama. Dari sinilah siswa bisa belajar logika paling mendasar dari ekonomi: bahwa uang yang terkumpul dari anggota bisa diputar menjadi modal usaha, yang kemudian menghasilkan keuntungan, lalu keuntungan itu dibagi lagi secara adil kepada anggota. Inilah praktik demokrasi ekonomi dalam bentuk paling nyata.
Jika koperasi diposisikan sebagai mitra kantin, maka tercipta sirkulasi sehat. Koperasi bisa memberi pinjaman modal kecil kepada siswa yang ingin membuka stan kantin. Modal itu bukan hibah, melainkan pinjaman dengan syarat jelas dan terukur, sehingga siswa belajar tanggung jawab finansial. Lebih jauh lagi, keuntungan koperasi tidak berhenti di kas sekolah, tetapi kembali ke anggota, yakni siswa itu sendiri.
Dari sini terbentuk kesadaran kolektif bahwa bisnis bukan sekadar mencari untung pribadi, melainkan menciptakan nilai bersama. Setiap rupiah yang dibagi dalam bentuk SHU (Sisa Hasil Usaha) bukan sekadar angka, melainkan simbol solidaritas ekonomi. Seorang siswa yang mendapat SHU dari koperasi akan merasakan, walau kecil, bahwa ia adalah bagian dari sistem yang lebih besar daripada dirinya.