Lebih jauh, simulasi ini bisa dikaitkan dengan praktik nyata---misalnya menjalin kerja sama dengan sekolah di luar negeri melalui program pertukaran produk simbolis. Sebungkus keripik buatan siswa bisa ditukar dengan cokelat buatan siswa dari negara lain. Bukan soal nilai ekonominya, melainkan soal latihan imajinasi, keterampilan, dan jejaring.
Dengan orientasi semacam ini, sekolah telah menanamkan sebuah pesan penting: "Jangan takut bermimpi besar, karena setiap produk lokal punya kemungkinan untuk menjadi global." Dan bahkan jika ekspor itu baru sebatas simbol, ia sudah cukup untuk menyalakan bara dalam jiwa siswa---bara yang kelak bisa menjadi api kewirausahaan dunia.
VIII. Menuju Ekosistem Bisnis Siswa yang Mandiri: Visi, Tahapan, dan Harapan
Setiap gagasan besar selalu lahir dari langkah kecil. Kantin sekolah yang selama ini hanya dipandang sebagai ruang jajan, koperasi yang sering menjadi formalitas administrasi, serta OSIS yang kerap terjebak dalam rutinitas seremonial---semua itu bisa disulap menjadi laboratorium bisnis miniatur yang menanamkan visi jauh ke depan.
Visinya jelas: membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara ekonomi. Generasi yang mampu membaca pasar, berani mengambil risiko, dan menjunjung tinggi akuntabilitas. Generasi yang tidak takut menghadapi dunia, karena sejak bangku sekolah mereka sudah dilatih mengelola ekosistem bisnis riil.
Namun visi tanpa tahapan hanyalah mimpi. Maka jalan menuju kemandirian ini harus dibangun bertahap:
1. Tahap pertama: Kesadaran. Sekolah perlu membuka mata siswa bahwa ekonomi bukan sekadar teori di buku, tetapi denyut kehidupan sehari-hari. Kantin, koperasi, hingga platform digital sekolah harus diperkenalkan sebagai ruang belajar nyata.
2. Tahap kedua: Eksperimen. Siswa diberi ruang mencoba: mengelola lapak kantin, mencatat keuangan koperasi, menjalankan aplikasi digital untuk transaksi. Di sini, kegagalan justru dianggap bagian dari kurikulum.
3. Tahap ketiga: Institusionalisasi. OSIS bertransformasi menjadi student business board dengan struktur eksekutif dan pengawas yang jelas. Guru, komite, alumni, dan wali murid hadir sebagai mentor, pengawas, dan dewan kehormatan. Transparansi digital ditegakkan sebagai norma.
4. Tahap keempat: Ekspansi imajinasi. Dari pasar sekolah ke pasar dunia, dari produk sederhana ke brand bernilai tambah, dari dagang harian ke simulasi ekspor mini. Siswa dilatih membayangkan lebih luas, sehingga mentalitas mereka tidak lagi terkungkung oleh batas lokal.
Harapannya sederhana namun revolusioner: sekolah tidak hanya melahirkan lulusan yang pandai menjawab soal ujian, tetapi juga generasi yang siap menghadapi medan ekonomi global. Mereka tidak hanya siap bekerja, tetapi siap mencipta. Tidak hanya siap bersaing, tetapi siap berkolaborasi.
Jika tahapan ini ditempuh dengan konsisten, maka sekolah tidak lagi sekadar menyiapkan ijazah, melainkan menjadi lokomotif ekonomi masa depan. Dari ruang jajan sederhana lahirlah calon pengusaha, inovator, dan pemimpin ekonomi bangsa.
Karena pada akhirnya, revolusi pendidikan bukanlah soal berapa banyak teori yang dihafalkan, melainkan berapa banyak realitas hidup yang dialami, dipahami, dan diolah menjadi kekuatan. Dan kantin sekolah---yang selama ini dianggap remeh---bisa menjadi titik awal lahirnya peradaban ekonomi baru.
IX. Kesimpulan: Revolusi Sunyi dari Kantin Sekolah
A. Sekolah bukan hanya mencetak pekerja, tapi juga pengusaha dan pemimpin