Ironisnya, sekolah sering memandang kantin bukan sebagai laboratorium belajar, melainkan sebagai sumber pendapatan. Sistem sewa lapak diberlakukan, keuntungan dikalkulasikan, lalu masuk ke kas sekolah. Para siswa? Mereka sekadar konsumen, paling banter jadi pengawas kebersihan, tanpa pernah diberi kesempatan untuk menyentuh denyut bisnis itu. Dengan kata lain, sumber emas pedagogis yang ada di depan mata dibiarkan terpendam, sementara siswa dipaksa belajar ekonomi dari buku teks yang kering.
Bayangkan jika situasi ini dibalik: kantin bukan lagi sekadar ruang jajan, tapi dijadikan panggung utama di mana siswa belajar mengelola modal, meracik produk, menata strategi pemasaran, hingga menyusun laporan keuangan. Bukankah ini lebih nyata daripada sekadar menghafal kurva permintaan dan penawaran yang digambar di papan tulis?
B. Potensi besar yang sering terbuang
Kantin sekolah, jika dilihat dengan mata awam, hanyalah ruang pemuas lapar. Tetapi jika dilihat dengan mata yang tajam, ia adalah ladang emas pendidikan kewirausahaan. Sayangnya, emas itu dibiarkan berserak di tanah tanpa pernah digali.
Betapa ironisnya: sekolah, yang mengaku mencetak generasi unggul, justru membiarkan potensi ekonomi paling dekat dan paling riil dikelola tanpa visi pendidikan. Para siswa setiap hari berhadapan dengan pasar nyata, tetapi tidak diberi alat untuk memahami apalagi menguasainya. Mereka hanya belajar ekonomi dalam bentuk abstrak: istilah-istilah asing, teori yang dipinjam dari buku luar negeri, kurva yang dilukis di papan tulis. Sementara the real economy berlangsung tak lebih dari sepuluh meter dari ruang kelas, di balik dinding kantin.
Di situlah letak kelalaiannya. Kantin sekolah adalah miniatur ekonomi rakyat: transaksi kecil-kecilan, arus uang tunai, dinamika selera konsumen, hingga strategi bertahan hidup pedagang. Semua unsur ini adalah bahan baku sempurna untuk melatih keterampilan kewirausahaan sejak dini. Tetapi apa yang terjadi? Potensi itu justru ditutup rapat oleh sistem sewa lapak yang hanya menguntungkan manajemen sekolah.
Bukankah lebih masuk akal jika potensi ini dialihkan kepada siswa sebagai arena belajar? Bayangkan seorang pelajar yang sejak bangku SMP sudah terbiasa mengelola stan makanan, mencatat pemasukan harian, membuat inovasi rasa, lalu mengiklankan produknya lewat media sosial sekolah. Bayangkan pula bagaimana pelajar SMA belajar menyusun laporan keuangan koperasi, atau mengintegrasikan kantin dengan aplikasi kasir digital buatan teman sekelasnya. Bukankah ini jauh lebih relevan untuk masa depan daripada sekadar menghafal definisi inflasi?
Potensi besar itu kini terbuang percuma. Seperti ladang padi yang dibiarkan tak tergarap, kantin sekolah telah menjadi ruang ekonomi tanpa visi, pasar tanpa ilmu, dan peluang tanpa strategi. Selama pola lama ini dipertahankan, siswa hanya akan menjadi penonton di pasar kehidupan. Mereka kenyang, tapi tidak belajar. Mereka antre, tapi tidak mengerti makna antrean itu.
II. Ekonomi Harian sebagai Laboratorium Bisnis
A. Mengapa pasar nyata lebih efektif daripada teori
Teori ekonomi bisa diajarkan berlembar-lembar. Guru bisa menulis panjang di papan, menggambar kurva permintaan dan penawaran, bahkan membagikan contoh kasus dari luar negeri. Tetapi sejauh pengalaman manusia, tidak ada teori yang lebih ampuh daripada kenyataan pasar itu sendiri.