Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Ekosistem Bisnis Siswa

30 September 2025   10:03 Diperbarui: 30 September 2025   10:03 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anak yang diberi modal seratus ribu untuk berjualan di kantin akan belajar lebih cepat tentang untung-rugi daripada membaca tiga bab buku ekonomi. Ia akan merasakan langsung arti dari "supply and demand" ketika dagangannya menumpuk tak laku karena selera teman-temannya beralih ke jajanan lain. Ia akan mengerti arti "cash flow" ketika modalnya habis hanya untuk bahan baku, sementara hasil penjualan belum cukup untuk diputar kembali. Semua itu adalah teori yang hidup, bukan teori yang kering.

Pasar nyata punya kejamnya sendiri. Ia tidak mengenal belas kasihan, tetapi justru itulah yang membuatnya menjadi guru paling jujur. Siswa belajar bahwa kreativitas adalah kunci: bungkus gorengan dengan kemasan menarik, beri nama unik pada minuman, atau promosikan lewat poster digital di kelas. Dari sini mereka memahami bahwa inovasi bukan jargon buku, melainkan senjata bertahan hidup.

Lebih dari itu, pasar nyata menumbuhkan sense of responsibility yang tidak bisa dibangun lewat hafalan. Seorang siswa yang gagal menghitung modal akan dipaksa menanggung rugi. Seorang yang ceroboh menjaga kebersihan akan ditinggalkan pembeli. Di sini hukum pasar bekerja sebagai pendidik keras, dan justru itulah yang dibutuhkan generasi muda kita: belajar dari benturan dengan kenyataan, bukan sekadar dari kata-kata manis guru atau lembar soal pilihan ganda.

Maka, jika kita sungguh-sungguh ingin menanamkan jiwa kewirausahaan, kita harus membawa siswa ke jantung ekonomi riil---dan kantin sekolah adalah laboratorium paling dekat, murah, dan efektif untuk itu.

B. Belajar risiko, kreativitas, dan inovasi dari kantin

Setiap pedagang kecil di kantin sekolah, sadar atau tidak, sedang bermain dengan risiko. Ia membeli bahan baku di pagi hari dengan harapan dagangannya laku sebelum bel pulang berbunyi. Jika cuaca panas, minuman dingin laris. Jika hujan turun, gorengan dan bakso kuah yang jadi rebutan. Inilah risiko paling sederhana namun paling nyata: ketidakpastian pasar.

Siswa yang diberi kesempatan untuk mengelola kantin akan belajar bahwa risiko bukan sekadar angka dalam soal pilihan ganda. Risiko adalah dagangan basi yang tidak habis. Risiko adalah pembeli yang tiba-tiba pindah ke stan lain karena harga lebih murah. Risiko adalah kerugian kecil hari ini yang bisa menjadi pelajaran besar untuk esok. Dengan mengalami itu, siswa belajar mengukur, mengantisipasi, dan bahkan menanggung risiko dengan kepala tegak.

Namun pasar tidak hanya mengajarkan risiko; ia juga memaksa lahirnya kreativitas. Siswa yang jeli akan melihat bahwa temannya bosan dengan menu yang itu-itu saja. Ia mencoba sesuatu yang baru: nasi goreng dengan topping unik, minuman dengan nama nyeleneh, atau kemasan ramah lingkungan yang lebih keren diunggah ke Instagram. Begitu tren digital masuk ke dalam permainan, kreativitas pun menjelma menjadi strategi pemasaran.

Dari sinilah inovasi lahir. Tidak ada inovasi tanpa dorongan pasar yang keras. Justru karena ada tekanan "kalau tidak beda, maka tenggelam", siswa akan belajar untuk mencari nilai tambah. Misalnya, membuat "snack sehat rendah gula" bagi siswa yang peduli kesehatan, atau mengusung produk lokal sekolah mereka dengan gaya modern agar berbeda dari jajanan pabrikan.

Jadi, kantin bukan hanya ruang jajan, melainkan ruang eksperimen inovasi. Di sanalah siswa belajar bahwa kegagalan adalah guru, risiko adalah ujian, kreativitas adalah penyelamat, dan inovasi adalah jalan keluar menuju kemenangan. Semua ini tidak akan pernah didapat dari catatan ekonomi di papan tulis. Hanya pasar, sekecil kantin sekalipun, yang mampu menyalakan api belajar seperti ini.

III. Integrasi Tiga Pilar: Kantin, Koperasi, Platform Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun