Kepemimpinan tanpa batas waktu adalah racun. Ia menciptakan rasa nyaman yang berujung pada stagnasi, bahkan tirani kecil. Karena itu, jika OSIS hendak berfungsi sebagai student business board, maka rotasi kepemimpinan adalah syarat mutlak.
Rotasi ini bukan sekadar ganti nama atau ganti jabatan, tetapi proses pendidikan demokratis. Setiap periode, kepemimpinan harus berpindah tangan melalui mekanisme pemilihan yang transparan. Mereka yang terpilih tidak hanya mewarisi jabatan, tetapi juga sistem, laporan keuangan, dan catatan bisnis yang sudah ada. Dengan demikian, siswa belajar dua hal sekaligus: seni memimpin dan seni mewariskan.
Proses estafet ini melatih rasa tanggung jawab lintas generasi. Siswa yang sedang menjabat tahu bahwa masa jabatannya terbatas, sehingga harus bekerja sungguh-sungguh dan menyiapkan penerus. Sementara yang belum mendapat kesempatan belajar bersabar, menanti giliran, sekaligus menyiapkan diri agar saat dipercaya, mereka sudah matang. Inilah inti demokrasi: kesempatan yang adil dan tanggung jawab yang berkesinambungan.
Lebih jauh, rotasi kepemimpinan juga mengajarkan manajemen risiko institusional. Jika satu generasi gagal, generasi berikutnya punya kesempatan memperbaiki. Jika satu model bisnis tidak jalan, pemimpin baru bisa mencoba strategi lain. Sistem tetap hidup, meski orangnya berganti.
Dengan demikian, rotasi bukan kelemahan, melainkan sumber daya peremajaan. Dari rotasi inilah muncul siklus inovasi, daya tahan, dan keadilan. Sekolah yang melatih rotasi OSIS dalam ekosistem bisnis sesungguhnya sedang menanamkan benih penting: bahwa demokrasi bukanlah teori di buku PKN, melainkan praktik yang mengatur urat nadi ekonomi sehari-hari.
V. Benturan Kepentingan: Sekolah, Guru, dan "Kue Ekonomi"
A. Masalah sewa lapak dan pengelolaan koperasi yang selama ini menguntungkan manajemen
Tidak bisa dipungkiri: di balik wangi gorengan dan ramainya antrean minuman es, kantin sekolah menyimpan realitas ekonomi yang keras. Sewa lapak kantin sering menjadi sumber pemasukan bagi manajemen sekolah. Begitu pula koperasi, yang dalam praktiknya kerap dijalankan guru atau pegawai sebagai ladang tambahan penghasilan. Semua berjalan "baik-baik saja" selama siswa hanya ditempatkan sebagai konsumen.
Namun, ketika ide baru muncul---bahwa kantin dan koperasi seharusnya menjadi laboratorium bisnis siswa---maka benturan kepentingan tidak terelakkan. Sekolah harus rela kehilangan sebagian "kue ekonomi" yang selama ini dinikmati. Sewa lapak yang tadinya masuk ke kas sekolah atau kantong tertentu, kini harus direlakan untuk menjadi modal belajar siswa. Koperasi yang tadinya dikuasai guru, kini harus dibuka agar siswa ikut mengelola, ikut menentukan, ikut merasakan untung-ruginya.
Inilah persoalan paling pelik: berani atau tidak sekolah memutuskan bahwa tujuan pendidikan lebih besar daripada keuntungan jangka pendek? Banyak sekolah berbicara soal inovasi, kewirausahaan, bahkan "link and match dengan dunia industri." Tetapi ketika menyentuh soal kantin dan koperasi, tiba-tiba semua idealisme mandek di hadapan realitas: "Kalau begitu, dari mana kami dapat pemasukan tambahan?"
Pertanyaan itu sah, tapi di sinilah ukuran keberanian diuji. Pendidikan sejati tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pragmatis sesaat. Jika sekolah hanya melihat kantin dan koperasi sebagai sumber dana internal, maka siswa selamanya hanya akan jadi pembeli, bukan pelaku ekonomi. Tetapi jika sekolah berani berbagi kue, maka ia menanam investasi jauh lebih besar: mentalitas bisnis, pengalaman riil, dan semangat kewirausahaan yang akan hidup bersama siswanya seumur hidup.